Balada Cinta; Anak Laki-laki Dengan Perempuan Tua

11:14 pm Posted by write over the rainbow

“Kangen”, itu kata yang sering dia katakan padaku, tanpa tahu arti dari kata “kangen” tersebut. Kata yang sebenarnya bermakna indah, jika kita benar-benar merasakannya. Tapi sayangnya, dia tak pernah merasakan seperti apa yang diartikan oleh kata “Kangen” itu. Dia tak pernah kangen pada diriku. Itu hanya sebuah kata yang terucap oleh sebuah bibir. Sebuah kata untuk menarik perhatianku. Seorang perempuan tua. Perempuan tua yang butuh kasih sayang dari lawan jenis. Perempuan tua yang sudah lama tak merasakan cinta. Merasakan cinta dan dicintai. Perempuan tua yang trauma akan kegagalan akan masa lalu.

Dia hanya seorang anak laki-laki yang tidak tahu dan belum tahu apa-apa tentang hidup. Dia hanya mencintai apa yang dia lihat, tapi tak mengerti tentang apa yang dia lihat. Dan aku, hanya seorang perempuan tua yang seperempat abad hidupku, telah kuhabiskan untuk mencari arti ‘hidup’ itu sendiri. Pengalaman adalah guruku, tapi tak banyak aku selalu jatuh pada lubang yang sama. Jadi, pengalaman tak menjamin kita untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, bukan?

Aku menyukainya. Ya, aku menyukai anak laki-laki itu. Anak laki-laki yang selalu mengirimi-ku pesan singkat pada ponsel-ku. ‘Kangen’. Itu yang selalu dia sampaikan pada pesan singkatnya. Pesan yang dikirim kepada perempuan tua yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Yah, mungkin dia sudah pernah melihatku melalui foto yang aku pasang pada salah satu laman jejaring sosial ku. Tapi, tetap saja, aku menganggapnya ‘dia belum pernah bertemu denganku’ atau ‘kami belum pernah bertemu sama sekali’. Pesan singkat yang selalu dikirim setiap hari, terkadang mengangguku, tapi tak jarang membuat ku tertawa-tawa disertai warna merah delima di pipiku. Laiaknya seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Yah, mungkin aku jatuh cinta pada anak laki-laki ini.

Pertanyaannya. Bisakah dua orang yang belum pernah bertemu, merasakan jatuh cinta satu sama lain? Yah, mungkin tidak satu sama lain tapi pada satu pihak saja. Maksudku, yah, bisakah seorang perempuan tua sepertiku bisa merasakan jatuh cinta pada seorang anak laki-laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya?? Atau sebaliknya.

Suatu hari, aku mengetahui bahwa anak laki-laki ini ternyata sudah mempunyai ‘teman’, OK, pacar. Aku tak ambil pusing. Dia hanya seorang anak laki-laki dan aku hanya seorang perempuan tua. Jadi, untuk apa aku harus ambil pusing? Tapi, untuk apa dia mengirimiku pesan singkat yang berisi kata ‘kangen’ tersebut? Seperti yang kubilang di atas, dia tak pernah merasakan apa yang sebenarnya dari kata ‘kangen’ itu. Dia hanya ingin menarik perhatianku. Dia hanya ingin bermain-main.

Hari lain, di pagi hari yang sangat pagi sekali. Hmmm, aku masih ingat jelas waktu itu, jarum jam dindingku mengarah pada pukul 02.30 pagi. Anak laki-laki ini, menanyakan tentang “Mau dibawa kemana hubungan ini?” kepadaku melalui telephone. Dan aku menjawab dengan bingung, “Hmmm, aku tidak tahu… Memangnya mau dibawa kemana hubungan ini??”

“Apa kau mau menjadi pacarku?’. Anak laki-laki itu bertanya dengan singkat dan jelas. Langsung pada intinya, tanpa basa basi. Dan ‘pacar’? Apa di umurku yang sekarang ini aku masih mencari seorang pacar? Oh, tentu tidak. Aku mencari seorang pria, untuk ku jadikan suami. Bukan seorang anak laki-laki yang di pagi buta mengajak seorang perempuan tua untuk menjadi pacar keduanya melalui saluran telephone. Menggelikan.

“Bagaimana dengan pacarmu?” Aku bertanya dengan santai, dan tentu saja aku belum menjawab satu katapun tentang ajakannya untuk menjadi pacarnya.

“Yaaa, jangan sampai ketahuan saja…” Terlalu sederhana untuk sebuah jawaban seseorang yang akan berselingkuh. Standar lah. Ck.. Aku lanjutkan.

“Bagaimana hubunganmu saat ini dengan pacarmu? Apa semuanya berjalan dengan lancar?” Sedikit interogasi. Tunggu, kenapa aku harus perduli tentang hubungannya dengan pacarnya itu?

“Ya begitulah… seperti orang pacaran…” Sejenak aku berpikir, jawaban apa itu?? ‘Ya begitulah, seperti orang pacaran.’. Dasar anak kecil!

“Sudah berapa lama kau berhubungan dengannya?” Lagi. Aku bertanya tentang hubungan mereka. Seakan-akan hasil wawancara ini akan memberikan keputusan ‘Apa aku mau menjadi pacarnya atau tidak.’ Aku seperti sedang memberi pertanyaan angket kepada anak laki-laki ini. Lucu.

“Aku tidak tahu. Aku tidak pernah menghitung sudah berapa lama aku menjalin hubungan dengannya. Dan, kenapa juga aku harus menghitungnya?!” Cuek. Tidak perduli. Itu kesan yang aku dapat dari anak laki-laki ini.

“OK. Setahu ku, dari laman jejaring sosialmu, kau menjalin hubungannya sejak November tahun kemarin. Jadi, kira-kira sudah…” Aku mulai menghitung dengan jariku, tapi aku tak bisa, aku tak bisa berkonsentrasi. “Ya, kau hitung sendirilah…” Aku menyerah. Hitung-menghitung bukanlah keahlianku.

“Tujuh bulan. Maksudku, akan masuk bulan ke tujuh.” Dia menghitungnya.

“Hmmm, sepertinya kau sedang mengalami rasa bosan atau jenuh dalam hubunganmu… Pfufh, tentunya banyak godaan juga disekitarmu? Kembali menjadi laki-laki yang bebas atau merasakan cinta yang lain.” Aku menghela nafas.

“Ya, banyak godaan. Dan kau adalah godaan itu.” Dia tertawa kecil, dan aku tertawa besar. Kaget sekali mendapat jawaban seperti itu. (Menghelas nafas) Wow, seorang anak laki-laki yang berbicara laiaknya orang dewasa. Mungkin dia tidak sepenuhnya anak kecil. Dia sedang mengalami pertumbuhan, pastinya. Dari seorang anak laki-laki menjadi seorang pria.

“Hey, dengarkan aku… Aku tak pernah menggodamu. Kau yang menggodaku lebih dulu. Kau selalu mengirimiku pesan yang berkata ‘kangen’ padahal kau belum pernah bertemu dengan ku sebelumnya. Kemudian, sekali dua kali kau menelponku di malam hari bahkan di pagi hari. Bagaimana mungkin bisa kau merindukan orang yang belum pernah kau lihat? Itu aneh, bagiku. Kau tahu itu?”

Dan anak laki-laki itu hanya tertawa kecil. “Apa kau tidak merasakan apa-apa terhadapku?”

“Apa? Aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu. Tidak merasakan apa-apa, maksudmu?” Aku bertanya. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia tanyakan.

“Maksudku, apa kau tidak merasakan, hmmm.. mungkin, ‘jatuh cinta’ padaku? Atau sebuah perasaan yang lainnya mungkin? Suka? Atau apalah itu?” Sejenak aku berpikir, siapa yang sedang berbicara dengan ku saat ini? Seorang anak kecil atau seorang pria dewasa?

“Apa kau hanya merasakan perasaan ‘biasa-biasa’ saja terhadapku?”

“Hmmm..Bagaimana aku menjawabnya? Okay, akan aku jelaskan. Begini, aku belum pernah bertemu denganmu. Tapi kau selalu mengirimiku pesan ‘kangen’ pada ponselku. Dan kini kau menanyakan perasaanku terhadapmu? Ini aneh. Sekali lagi, aneh. Aku masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin kau bisa berkata ‘kangen’ pada orang yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Kata ‘kangen’ itu akan ada dan akan terucap ketika kau telah bertemu dengan seseorang yang kemudian, orang itu pergi dari hidupmu dalam jangka waktu yang singkat atau panjang. Atau bahkan orang tersebut tidak akan pernah kembali lagi dalam hidupmu. Kau mengerti maksudku? Dan tentang perasaanku terhadapmu… Aku menyukaimu. Ya, aku menyukaimu. Tapi… (aku tertawa kecil) maaf aku masih bingung…aku bahkan belum pernah denganmu…”



“Jadi, apa kau mau jadi pacarku?” Dengan pertanyaan yang sama dia masih tanpa basi-basi.

“Oh Tuhan…” Aku berpikir sepersekian detik. Aku seperti sedang ditawari uang 2 Miliar di depan mata. ‘mau atau tidak?’. Tunggu, mungkin aku terlalu berlebihan untuk menyamakan ajakan anak laki-laki ini menjadi pacarnya dengan uang 2 Miliar. “OK.”

“OK? Apa itu artinya, ‘ya, aku mau jadi pacarmu’ atau ‘ya, kau mau jadi pacarku’?”

“Seperti yang kau pikirkan.” Pasrah sekali aku menjawab.

“Aku mencintai mu! Pfiuh…. Percakapan ini membuatku lapar. Aku mau makan dulu. (dia tertawa senang). Aku mencintai mu!’

Beep. Telephone itu tertutup.

Dan aku…
“Oh Tuhan, apa yang telah ku katakan?? Apa aku telah menjawab ‘YA’ tadi???” Aku menutup muka dengan kedua tanganku.

Ya, begitulah ceritaku dengan anak laki-laki itu. Dan sekarang aku adalah perempuan tua yang sedang berhubungan dengan seorang pria yang umurnya di bawah umurku. Seorang pria yang mempunyai perempuan lain selain diriku. Seorang pria, yang baru satu kali aku bertemu dengannya setelah dua bulan kami menjalin hubungan. Aneh.

Kangen, berasal dari kosakata Jawa. Dalam pembendaharaan kosakata Bahasa Indonesia, kata ini hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kangen, artinya sangat ingin akan bertemu. (Kamus Umum Bahasa Indonesia – 1976)

Tuan Nada

1:05 pm Posted by write over the rainbow


Hai, Tuan Nada. Saya jatuh cinta pada anda.

16 Juni 2010
08:36 PM

Butir-butir Pil Kebahagian Ku....

9:37 am Posted by write over the rainbow

Pfiuh… apa gw boleh bilang, kalo gw ‘agak’ capek, akan segala hal yang udah terjadi pada diri gw satu tahun ini. Yah, dimulai tahun kemarin. 2009. Juni 2009. Tepatnya akhir Juni, akhirnya gw sidang juga. Setelah perjalanan panjang selama 1,5 bulan (bersihnya…) menyusun yang namanya Tugas Akhir. Sebenarnya ada SESUATU yang sangat RAHASIA sekali dibalik penyusunan Tugas Akhir ini. Mungkin, kalau saja HAL ITU tidak terjadi mungkin, dorongan pada diri gw untuk menyelesaikan Tugas Akhir nggak ada sama sekali. Tapi mungkin Tuhan punya rencana lain, jadi gw diberi sedikit SENTILAN ama Tuhan lewat orang lain pada bulan April… yang jelas, gw terima kasih sekali pada dua orang ini. Terima Kasih ya, karena kalian, gw bisa menyelesaikan Tugas Akhir gw. Hehehehe… Pasti penasaran ya?? Hehehe… Oke..oke..oke… Jadi April 2009 itu, SAYAH PATAH HATIH cing!! Nah, untuk bangkit dari keterpurukan PATAH HATIH SAYAH mengerjakan TUGAS AKHIR SAYAH sampai AKHIRNYA SAYAH SIDANG. Untuk moment ini, SAYAH BANGGA dengan DIRIH SAYAH SENDIRIH.

Juli 2009. Untuk pertama kalinya, gw nangis depan sahabat gw, Yuliana M. Rahman a.k.a Na. Hahaha, jarang-jarang bahkan boleh dibilang nggak pernah gw nangis depan orang, meski itu orang terdekat sekalipun. Perbedaan pendapat antara gw ama orang tua gw. Yah, sebenarnya udah biasa kali ya, perbedaan pendapat seperti itu terjadi antara orang tua dengan anak, tapi bagi gw, konflik yang terjadi tahun kemarin, mungkin itu untuk pertama kali dalam hidup gw. Hehehe… bukan maksud apa, tapi karena selama ini, apa pun itu yang diminta oleh si gw ini, selalu dipenuhi ama si ortu gw itu. Nah, tiba permintaan gw saat itu ga dipenuhi ‘agak’ naik darah dikit gw jadinya. Akhirnya ya, gw mengalah dan lalui aja hidup apa adanya dengan sisa waktu yang sedikit sekali. Hehehe… pastinya nggak sendirian, ada orang-orang yang jadi penyemangat gw. Gw sebut mereka sebagai Tim Hura-hura. Tapi yang namanya hidup ga selamanya hura-hurakan??? Tim Hura-hura juga berfungsi sebagai Tong Sampah gw. Hihihi…. Jadi adilkan, gw nggak memanfaatkan mereka… hmmm, agak kasar ya ‘memanfaatkan’ tapi ga papalah, sesuai karakter gw yang agak ‘sedikit’ bringas… hahahaha… Yap, gw nggak hanya memanfaatkan mereka pada saat gw sedang jatuh terpuruk tersungkur apa pun itu, gw juga memanfaatkan mereka ketika gw lagi bahagia, senang, gembira ria. Mari kita sebutkan nama mereka satu per satu (sesuai abjad); Mita Novita Sari , Ni Galih Ajeng Tantri, Vita Desi Purnama, Windu Mahesa Anjani, dan Yuliana M. Rahman.



Waktu yang sedikit, gw manfaatkan sebaik mungkin. Enam bulan. Kalau kita lihat dari kalender, mungkin terasa lama, tapi kalau kita jalani, Enam bulan itu terasa nggak nyampe satu bulan. Selesai sidang, seperti biasa mahasiswa selalu mengikuti ceremonial yang namanya Wisuda-an. Hahaha, sebenarnya waktu gw wisuda, greget gw untuk ikutan acara wisuda udah nggak ada lagi. Yaaaahh, namanya juga telat lulus.. hahaha, tapi ga papalah dari pada ga ikutan sama sekali… hihihi… Habis wisudaan, Puji Tuhan, kerjaan ngalir terus.

Agustus 2009. Jadwal gw (hampir tiap hari) penuh dengan briefing, event dan report even (reporter). Jadi nggak kelihatan banget penganggurannya. Whuahahaha… Bulan-bulan berikutnya diisi dengan kegiatan mencari pekerjaan yang lebih ‘menjanjikan’ dan sambil bekerja sebagai freelancer di P. Comm Event Organizer dan sebagai reporter di Rase 102.3 FM Bandung. Bersama Tim Hura-hura + Tong Sampah mencari pekerjaan, sambil menyokong satu-satunya anggota yang belum lulus kuliah. Karena kesibukannya bekerja dia ‘harus’ sedikiiiiittttt terlambat menyelesaikan kuliahnya, Windu Mahesa Anjani. Yah, sambil mencari pekerjaan dan bekerja, kami menyokongnya dan memberi semangat pada beliau untuk menyelesaikan Tugas Akhirnya. Hahaha… Menemaninya ke kampus dan menemaninya sidang (sudah pasti). November menjadi hari bersejarah baginya, karena akhirnya gelar ‘itu’ berhasil disandangnya. Satu minggu dalam bulan November juga gw manfaatkan untuk menyelesaikan revisi + hard cover Tugas Akhir. Everything’s end with DONE. Untuk moment November ini, gw tepati janji gw kan Ndu… loe wisuda, gw masih stay di Bandung. :P

Enam bulan, waktu yang singkat. Ada senang, ada sedih, ada tawa, ada juga air mata. Semuanya seimbang pada enam bulan itu. Antara kebahagiaan dan kesedihan, mereka seimbang takarannya dalam hidup gw. Waktu yang singkat itu juga gw habiskan bersama seseorang yang entah siapa dia sebenarnya dalam hidup gw. Terlalu rumit untuk dijelaskan, tapi cukup dua kata untuknya. “Terima Kasih, Tenyom.” (entah kenapa setiap cerita bagian dia gw jadi mellow… seperti saat gw nulis ini… sialnya Ryan Cabrera lagi ngamen di kuping gw bawain lagu It’s True. Hey kamu, KEPUTUSAN yang kita ambil pada Oktober 2009, ada baiknya juga bagi kita. :))

Meninggalkan kota yang udah kurang lebih empat tahun gw tinggalin, bukanlah hal yang mudah, dan tak segampang membolak-balikkan telapak tangan. Kalau kata lagu, “Terlalu indah untuk dilupakan, terlalu sedih untuk dikenangkan.” Hehehe… empat tahun bukan waktu yang singkat lho…. Banyak yang terjadi pada empat tahun itu. Perjuangan dan pengorbanan hidup di negeri orang terjadi pada diri gw. Jatuh bangun juga gw alami. (lebay ya??? Hahaha… habis gw susah mendeskripsikannya… :P ) Meninggalkan Bandung sama saja melepaskan karir yang sedang gw jalani, meninggalkan teman-teman yang sudah gw anggap seperti saudara sendiri, bahkan lebih dari saudara. Pokoknya nggak gampang bagi gw untuk meninggalkan Bandung. Terlalu banyak yang indah disana. Gw nggak akan pernah bilang, semua kesialan dan kesedihan yang pernah gw alami disana adalah sebuah ketidakberuntungan, tapi gw akan bilang itu sebuah berkat bagi gw. Semua yang pernah terjadi pada diri gw selama empat tahun di Bandung semuanya adalah INDAH. Baik itu senang, sedih, tawa atau tangis sekalipun.

Tapi apa boleh buat, Tuhan adalah editor dalam hidup gw, walaupun gw berharap ada editor beneran yang mau ngorbitin karya gw…. Amin. Hehehe… Tuhan punya rencana lain dalam hidup gw, dan rencana-Nya adalah ‘menerbangkan’ gw kembali ke kota kelahiran gw pada Desember 2009. Maaf, untuk line ini mungkin agak nyerempet ke agama gw (tapi nggak mendalam banget kok..). Peace. Ya, agak sedikit bertolak belakang dengan orang Kristen adanya. Dimana Desember adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh umat Kristen, gw malah tidak sama sekali rindu akan Desember. Dimana umat Kristen senang meneriakkan, “Desember telah TIBA!!!”, gw malah, “Desember…. Pfufh… Akhirnya datang juga waktu itu…” dengan nada lesu dan mimik muka yang sedih. Bisa dikatakan dengan jujur, NATAL tidak ada dalam diri gw pada 2009. :P Hati gw terlalu abu-abu untuk menikmati hari besar yang bernuansa warna merah, hijau dan putih itu dengan gemerlap bintang emas dan riuh rendah suara lonceng, diikuti kesibukan orang-orang menyiapkan kado natal. Bahkan suara choir gereja pun terasa biasa-biasa saja di telinga. Tak sedikitpun suara gegap gempita itu membuat bulu tengkukku berdiri. Tapi, yaaaa… sekali lagi Tuhan yang memiliki gw, dan gw harus menjalankan apa yang diperintahkan olehnya.

6 Desember 2009, itu hari Minggu. Gw pergi ke gereja. Sendirian. Agak linglung juga sendirian, biasa berdua. #curcol … Hehehe… Terasa asing di gereja itu padahal tiap minggu ikut kebaktian disana. Seperti baru pertama kali datang. Tapi entah kenapa ditengah-tengah kebaktian, tiba-tiba ada yang mengalir di pipi gw. Oh shit. Gw nangis. Rasanya PENGEN BANGET gw teriak dalam gereja “Tenyom, dimanaaaaaaa????? Gw sendirian neh!!!”. Dua jam tahan tangis di gereja, nyiksa banget cing… hahahaha… gw berharap nggak ada yang lihat saat itu, tapi kalau pun dilihat orang, whatever lah… baru kali itu rasanya sepi banget… itu hari minggu terakhir gw ke gereja di Bandung, karena tanggal 12 sampai 13 Desember-nya, gw nggak bisa ke gereja karena punya acara di Gunung bareng teman-teman. (maaf ya Tuhan.. :P)

Tibalah waktunya, 19 Desember 2009, pagi sekali gw bangun, mempersiapkan diri untuk meninggalkan Bandung. Agak lemasssssssssssssssss (masih ‘agak’ ternyata… hahaha… padahal nafsu buat makan aja nggak ada sama sekali…) Rasa malas menggrogoti badan… malas beranjak. Koper siap, tiket pesawat siap. Gw berasa menjadi salah satu finalis kontes nyanyi yang gagal masuk ke babak berikutnya. Whuahahaha… Menggunakan jasa travel ke Bandara, perjalanan rasanya panjaaaaaaaaaaaaaaanggggggg banget… perasaan campur aduk. Sampai Bandara Soekarno – Hatta, ada satu harapan yang ada dalam hati gw, ada perubahan yang diperbuat Tuhan untuk mengembalikan gw ke Bandung. Tapi, sampai kaki gw menyentuh lantai kabin pesawat, sampai safety belt mengekang badan gw, ternyata perubahan itu tidak pernah terjadi. Sampai gw di langit.

Juni 2010. Capek juga menjalani hari, sampai akhirnya tulisan ini dibuat, 20 Juni 2010. Pasang surut emosi gw lalui, mulai dari emosi tinggi, kembali turun, naik lagi, turun lagi, berusaha bertahan, berjuang menghadapi hari. Untuk ini, Tuhan cukup adil sama gw. Dia kasih gw satu sifat yang kata orang sebagian, “Loe beruntung punya sifat ‘itu’. Ajarin gw untuk bisa memiliki sifat ‘itu’“. SABAR. Itu yang Tuhan kasih sama gw. Orang bilang gw beruntung, tapi kalau diri gw sendiri bilangnya gimana?? Beruntung atau tidak?? Hehehe…

Setidaknya, gw bisa bilang, masa kritis sudah lewat, dan sekarang gw sedang masa pemulihan. Masa dimana gw harus menemukan titik yang namanya, SEHAT. Dan untuk itu, gw masih membutuhkan Tim Hura-hura + Tong Sampah, gw masih membutuhkan mereka, butir-butir pil warna-warni yang membantu tubuh ini dalam masa pemulihan. Gw masih membutuhkan Mita Novita Sari, Ni Galih Ajeng Tantri, Windu Mahesa Anjani, Vita Desy Purnama, Yuliana M. Rahman, dan butir-butir pil warna-warni lainnya yang nggak sanggup untuk gw sebutkan namanya bukan karena gw tidak mau, tapi akan lebih baek, jika nama pil-pil itu terukir di hati gw. Karena hati gw adalah tahta bagi mereka. Terima kasih-ku untuk kalian, Pelangi-ku.



20 June 2010;
20: 20 – 23:35 WIB at living room, my house.



P.S :
1. Yang di tag, itu yang ada di hati gw. :p
2. Ada berapa kata ‘tapi’ dalam cerita ini?? Hahaha...
3. Jangan PERNAH mengira kalau gw adalah drugs maniac... hahaha...

Pain-thing with You

12:41 pm Posted by write over the rainbow

Bandung pagi hari. Cerah. Bangun pagi adalah kesukaanku. Ku mulai dengan membuka computer-ku. Menuju Yahoo! Messenger, FaceBook, Twitter, dan beberapa website yang selalu ku buka hanya untuk mencari hal-hal yang menarik.

Satu getar dari instant message ku terima. Ku jawab, “Yaa…”
“Lagi apa?” dia yang di sana bertanya.
“Lagi on-line…” ku jawab dengan pasti, karena toh pada kenyataannya aku sedang on-line. Berada di dunia maya.
Dia di sana memberiku emoticon, “I-)”
Aku bertanya, “Ngantuk??”
“Nggak…” itu jawabannya.
“Terus apa dong??” aku yang di sini bingung melihat jawaban di layar computer ku.
“Nggak ada apa-apa…”
Semakin bingung, “:-? [-( #:-S :D”
“Nggak ada kerjaan ya??”
“Ada…” singkat padat dan jelas, tapi tetap saja aku bingung.

Percakapan di chat box itu berhenti. Aku mulai bingung mau apa. Aku mencari sesuatu yang mengasyikkan, yang dapat mengalihkan perhatiannya, dan sekaligus membuatnya asyik bekerja. Semoga saja. Dan berharap apa yang ku lakukan tidak menganggu jam kerjanya. Aku mulai membuat gambar dari Doodle.

Ku warnai kertas putih pada chat box ku. Bagian bawah kertas itu, setengahnya ku warnai dengan warna coklat, pertanda bahwa itu adalah tanah. Di sudut kiri kertas ku gambar pohon. Setengah dari kertas putih di atas ku tambahi dua buah awan dan beberapa burung, disertai matahari. Aku berhenti di tengah-tengah kertas putih itu. Antara langit dan bumi. Berkali-kali aku berusaha membuat benda mati yang selalu di gunakan orang untuk jadi sandaran mereka ketika lelah atau hanya sekedar untuk melihat-lihat sekitarnya. Bangku taman. Bangku itu selalu tak bisa ku gambar dengan baik.

“Udah jadi???”, dia yang di sana bertanya. Ternyata dia memperhatikan pekerjaanku sejak dari awal pengerjaan gambar ini.



“Udah kayaknya…” aku menjawab lesu, karena aku merasa belum selesai.
“Bingung mau gambar apa.. aku mau gambar bangku tuh di bawah awan.. gambarin dong…”
“Akunya mana??” aku tersenyum kecil dia bertanya seperti itu.
“Yee.. siapa yang mau gambar kamu….PD dehh… hahaha..” aku tertawa sendiri di depan layar computer ku.
“Gambarin bangku taman sih di bawah awan… :(” aku ingin sekali dia ikut serta dalam pengerjaan gambar ini… menemaninya bekerja jarak jauh dengan cara seperti ini sepertinya mengasyikkan, asalkan dia sedang tidak sibuk.
“Ntar kalau kamu dah gambar bangku, baru aku gambar kamu, duduk di bangku itu… :P “ iming-iming yang tidak terlalu memberikan untung yang menarik bukan?!
“Nggak mau…”
“Nulis aja aku susah, kamu malah nyuruh aku gambar…” senyum geli dalam bibir ku terukir membaca responnya.
“Aku nggak bisa gambar bangku…. :(” penambahan sad emoticon itu sukses membuat mouse di kota seberang Bandung sana bergerak cepat menggambar bangku taman. Tapi salah.
“Itu kursi sayang…” aku tertawa melihat hasil karya agung-nya.
“Itu lho bangku taman… yang panjang… “ aku berusaha memberikan ciri-ciri benda mati yang kuinginkan pada gambar itu.
“Iyaaa….” Dia mengerti.
“Ya udah kamu hapus dulu kursinya…” aku langsung melakukan apa yang dia minta. Ku hapus gambar kursi yang telah di buatnya tadi. “Udah tuh…”, lapor ku.
“Gambarnya di bawah awan ya…” pinta ku.
“Ya udah, awannya pinggirin… hahahaha….” Pintanya dengan kocak, bagaimana mungkin aku menggeser awan, tapi tetap ku lakukan. Aku menghapus gambar awan yang sudah dari tadi ku gambar. Kemudian, ku gambar ulang dengan ukuran yang sedikit lebih kecil dari pada gambar yang semula, dengan posisi yang sedikit menjorok ke atas.
“Udah tuh.. hahaha…” entah kenapa kegiatan ini membuatku senang. Padahal beberapa minggu kemarin kami berdua sedang dalam lingkaran hitam permasalahan akan hubungan kami. Pfiuh.
“Gambarnya pake tinta warna hitam ya… “ pinta terakhirku. Kemudian aku memperhatikan kertas putih itu sedikit demi sedikit tergores oleh garis-garis hitam yang membentuk bangku taman. Garis-garis yang di buat oleh tangan pria yang berada di kota tetangga Bandung sana. Gambar jarak jauh. Kehebatan teknologi.
“Sudah tuh…” garis hitam itu berhenti bergerak membentuk diri di tandai dengan laporan sang penggambar.
Kuperhatikan bangku itu. Aku bingung dengan posisi bangku itu, “Itu bangku menghadap kemana???”
“Terserah…. Hahahaha….” Nyeleneh sekali jawabannya tapi aku tertawa.
“Aku perbaiki sedikit ya….” Ijinku.
“Iya… “ katanya.

Kuperbaiki bangku taman itu, selesai. Ku tepati janji ku untuk menggambar orang di bangku itu. Itu dirinya yang sedang duduk di bangku taman menikmati sinar matahari yang cerah.



Dia tertawa melihat hasil gambar seluruhnya. Kerja keras kami berdua. Gambar-ku dan gambar-nya.
“Kamu nggak makan siang??”
Lama aku mendapat jawaban atas pertanyaan sederhanaku itu.
“Aku tadi lagi beli makanan.”

Karmanyca’s Story V; Thank You and Dream

10:53 am Posted by write over the rainbow


Jam di dinding menunjukkan pukul 20.33 WIB, Karmanyca baru saja sampai di rumahnya. Dia baru pulang dari Rumah Sakit Bersalin menjenguk kakak iparnya yang baru saja melahirkan anak pertama. Kedua kakinya lelah menginjak pedal gas mobil. Capek yang tak terkira. Ya, capek yang tak terkira. Baru kemarin dia membawa pergi mobilnya keluar dari perbatasan kota Jogja menuju salah satu kabupaten di kota Jogjakarta untuk menghadiri wisuda seorang teman dan baru sampai di rumahnya, Jogjakarta, sore hari. Hari ini, dia harus membawa mobilnya kembali ke Rumah Sakit Bersalin untuk melihat keponakannya yang baru lahir.

Kaki sebelah kiri Karmanyca banyak terdapat lebam biru karena kelelahan, bukan karena penganiayaan. Hal itu biasa terjadi dirinya ketika merasa sangat kelelahan. Badannya terasa gerah, Karmanyca memutuskan untuk mandi. Jam masih menunjukkan pukul 21.17 WIB tapi mata Karmanyca sudah menyipit mengantuk. Berbaring di tempat tidur sambil membaca teenlit yang dipinjam dari teman semasa SMA dulu, Karmanyca sudah mengantuk yang tak tertahan tapi harus ditahannya, karena dia belum curhat kepada Yang Di Atas sana. Setelah itu, Karmanyca tertidur dengan pulasnya.

Pukul 03.20 WIB tiba-tiba Karmanyca terbangun. Matanya membelalak besar. Mimpi itu benar-benar masih diingatnya dengan jelas. Mimpi dimana Karmanyca dan Edwin di malam terakhir di kamarnya. Di dalam pelukan Edwin, Karmanyca mengucapkan ‘Terima Kasih’.
“Win, makasih ya…”, ditatapnya mata pria yang sedang memeluknya itu.
“Makasih untuk apa Karmanyca??”, bingung dengan ucapan ‘Terima Kasih’ dari Karmanyca karena dia merasa tidak memberikan apa-apa atau surprise apapun pada gadis yang sedang dalam pelukannya ini.
“Terima kasih untuk semuanya… “, Karmanyca tersenyum bahagia lalu mencium Edwin.

Edwin hanya bisa diam menyulam senyum manis tapi dalam hatinya merasa bersalah atas semua yang telah dia berikan pada Karmanyca. Semua kebohongan yang telah dia berikan.

Mimpi itu, Karmanyca tak mengerti apa artinya karena pada kenyataannya, pada malam itu tak sekalipun dirinya mengucapkan rasa ‘Terima Kasih’ pada Edwin atas semua yang dia lalui bersama Edwin. Pahit atau manis. Rasa ‘Terima Kasih’ itu tak pernah Karmanyca layangkan pada Edwin.

suara mu

10:54 am Posted by write over the rainbow

malam itu... aku nggak tahu, apakah harus senang atau sedih, kesal atau marah... yang ku tahu, aku hanya kaget, melihat nomor handphone mu tertera di layar handphone ku...

setelah satu bulan, kita nggak ngobrol, ketawa-ketawa, berantem, ya apapun itu yang selalu kita lakukan dulu... akhirnya aku bisa mendengar suara mu lagi...

perasaan ku campur aduk terhadap kamu...

mungkin aku masih sayang kamu...

Karmanyca's Story IV; Pray

10:19 am Posted by write over the rainbow


Oh, God give me a reason
I’m down on bended knee…

[Boyz II Men – On Bended Knee]

Cermin 150 cm x 50 cm dipenuhi penampakan gadis yang menatap dirinya sendiri di cermin itu. Diletakkan tangannya di tulang selangka, dan menyentuh daerah yang ada di antara tulang selangka dan payudaranya. Benjolan itu terasa semakin besar. Benjolan itu sudah ada sejak dia masih duduk di bangku SMA, tapi tak sekalipun pernah dia memeriksakan diri ke dokter. Takut. Itu hal pertama yang dirasakannya. Tak siap menerima hasil pemeriksaan dokter. Seandainya, seandainya itu adalah Kista yang jinak mungkin dia siap menerima pengobatan dalam bentuk apapun, tapi lain hal jika itu adalah tumor ganas atau kanker. Tak ada kesiapan untuk menerima hasil pemeriksaan bahkan menjalani segala jenis pengobatan.

“Tuhan, sehatkan aku, jauhkan aku dari segala jenis penyakit agar aku dapat selalu berkumpul bersama keluarga-ku. Amin.”, Karmanyca berdoa dalam lamunnya.


Karmanyca kemudian berbaring ke tempat tidurnya. Diambilnya Handphone yang ada di samping tubuhnya, kemudian dia melihat fitur kalender dalam handphone itu. Satu bulan. Sudah satu bulan dia tak berkomunikasi dengan Edwin. Dia menghembuskan nafas panjang. Lelah. Karmanyca berpindah fitur ke Internet Application, dibukanya salah satu account-nya di jejaring sosial. Tak dapat dielakkan, tangannya mengetik nama ‘Edwin Soedrajat’ pada kotak pencarian teman. Dag dig dug dag dig dug yang dirasakannya ketika jejaring sosial itu sedang dalam proses pencarian profile ‘Edwin Soedrajat’. Karmanyca sebenarnya tak ingin melihat profile Edwin, tapi rasa ingin tahunya ternyata lebih besar daripada rasa ketakingintahuannya. Dia ingin tahu apa yang sekarang dilakukan Edwin di pulau sana? Apa yang sedang Edwin rasakan di pulau sana? Apa dan apa, itu lah yang diinginkan Karmanyca saat ini. Profile Edwin telah selesai dalam pencarian. Status update Edwin saat itu; I know I'll see you again whether far or soon but I need you to know, that I care and I miss you.... Membaca kalimat itu, sesak dirasa Karmanyca. Dia tahu, kalimat itu bukan untuk dirinya, tapi untuk perempuan lain. Dia merasakan amarah bercampur jadi satu bersama cemburu tapi tentu saja takaran amarah lebih banyak. Rasa benci yang dia layangkan pada Edwin seminggu yang lalu berubah status menjadi dendam. Dendam.

“You’ll never find someone like me. The person who hurt you, people who disrupt your life, people who make you angry and feel so annoyed… You’ll miss me.”


Kalimat itu tiba-tiba berputar di kepala Karmanyca. Edwin mengirim pesan itu kepada Karmanyca, ketika mereka masih bersama. Satu pesan yang begitu percaya dirinya seorang Edwin, tapi dibenarkan oleh Karmanyca. Edwinlah yang selalu bisa membuat Karmanyca dipenuhi rasa amarah, Edwinlah yang selalu mengganggu kehidupan Karmanyca, dan Edwin jugalah yang selalu membuat Karmanyca sakit hati tapi Edwin juga yang bisa membuat Karmanyca begitu merindukan musuh sekaligus cintanya itu, Edwin Soedrajat. Sekarang, rasa rindu itu berganti rasa dengan dendam. Begitu besar rasa dendam Karmanyca kepada Edwin sehingga ingin sekali Karmanyca menampar pipi Edwin jika ada di hadapannya.

“Tuhan, aku tahu Kau tak pernah mengajarkan dan mengijijnkan aku untuk mendendam pada anak-anak-Mu yang lain. Tuhan, selimuti dendamku ini dengan kasih-Mu agar aku dapat mengasihi anak-Mu, Edwin Soedrajat. Amin.”, Karmanyca berdoa dalam dendamnya.