Karmanyca's Story I; AIR MATA, SERIBU KALIMAT SASTRA.

10:11 am Posted by write over the rainbow

Karma. Namanya Karmanyca. Malam itu, ingin sekali kakinya melangkah jauh dari lantai rumah. Diambilnya kunci mobil, lalu mobil hitam itu pelan-pelan keluar dari garasi tapi “Braakk!!”, sebuah bunyi retakan terdengar keras hingga ke dalam mobil.
“Apa itu??!”, tanyanya panik.

Matanya beralih ke arah kiri, dilihatnya kaca spion kiri sudah tak berbentuk.

“Sial”, makinya dalam hati.
“Maaf Hitam, bukan maksudku menabrakanmu, tapi apa daya, pikiranku sedang di alam lain.”.

Kembali mengeluarkan si Hitam dengan hati-hati, hingga ke tengah jalan raya.

“Sekarang si Hitam dan si Putih punya nasib yang sama. Hitam di sebelah kiri, Putih di sebelah kanan. Huft, dua mobil ku tersayang, telinga kalian tidak ada yang beres sekarang. Hehehe…”, dia tertawa geli mengingat kondisi kaca spion kedua mobilnya.

Di depannya berdiri satu deret rak buku. Beratus-ratus buku terpajang di rak itu dengan judul-judul yang indah. Kenapa judul-judul itu begitu indah? Dari mana judul-judul itu datang? Terpampang sederet nama-nama yang pernah dia dengar sampai nama-nama yang tak pernah dia kenal sebelumnya, bahkan bertemu sekalipun tak pernah.
Dengan cover yang eye catching, warna-warna halus, warna-warna berani, hingga warna-warna gelap, bahkan warna-warna gradasi pun ikut andil dalam parade warna cover buku-buku itu. Seperti Pelangi. P E L A N G I.

Berdiri di depan rak buku, yang hanya berjarak 30 centimeter dari ujung jari kakinya, seperti menonton film romantis. Senyum-senyum kecil manis terukir di wajahnya. Sudah lama dia tak melihat buku-buku seperti itu. Dilihatnya papan palang nama rak buku itu, “Novel Sastra”. Memori otaknya berputar pada masa lima tahun yang lalu. Novel sastra pertama yang dia baca berjudul “Para Priyayi” karangan Umar Kayam. Novel sastra pertama yang juga mengantar dan membawanya mencintai sastra, walaupun dia tak begitu paham akan “SASTRA” itu sendiri. Setelah itu, berderet judul novel sastra telah dibacanya sampai pada akhirnya, datang sebuah kesempatan untuknya membeli sebuah buku kecil berwarna abu-abu bergaris hitam, ungu, hijau, merah kembali hitam dengan silhouette wajah sang penyair. Buku kecil itu lahir dari tangan seorang sutradara terNAMA. Buku itu diberi nama “Aku”, Sjuman Djaya – berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar.
Dia mulai mengingat isi dari buku kecil itu:

“Yang ini bagus sekali. Kedengarannya enak. Tapi Siti bukan dara lagi, ‘kan, Bang. Abang tau, Siti diketawain anak-anak di sini, waktu bilang, Abang seorang tukang sa’ir! Mereka tanya: ‘Apaan itu tukang sa’ir? Namanya siapa dia? Bapaknya siapa?’ Siapa sih nama Abang? Boleh tau, ‘kan?”

Dan lelaki itu seenaknya menjawab:
“Boleh! Namaku… AKU!”
“Aku? kok ‘Aku’, sih? Terus nama bapaknya siapa?"
“Atang!”
“Lho, si Atang yang tinggal di Kalipasir itu?”
“Ah, bukan, dia tinggal di Medan!”
“Jadi lengkapnya nama itu, Aku… bin… Atang’!”

Marsiti jadi pelan-pelan mengulanginya:
“Aku bin Atang” ?


Kembali ke lima tahun yang sekarang.
Kembali berdiri di depan rak “Novel Sastra”.

Seorang pria berkulit putih menghampirinya. “Jaman sekarang masih baca novel. Sastra lagi….” berkomentar dengan nada sinis.
Dia bingung mendengar komentar pria itu, bertanya dalam hati, “Apa maksud mu dengan ‘Sastra lagi…’”. Dipandangnya pria itu. Pria itu dikenalnya. Teman SMA-nya.

“Ternyata kamu tak berubah dari dulu. Dasar kutu buku. Apa sastra atau tulisan masih menjadi sarana tumpah ruah kalimatmu?”

“Masih, tapi sekarang aku sedang kehilangan inspirasi ku.” Tersenyum manis kepada pria itu tapi serasa miris mengucapkan kalimat itu. “Kehilangan inspirasi” [?].

“Kalau begitu, kenapa dulu kamu lebih memilih untuk masuk ke kelas IPA bukan kelas Bahasa?”

“Aku menyukai alam seperti aku menyukai sastra. Seorang ilmuwan boleh saja menggunakan mikroskop, pipet, tabung silinder, dan berteman dengan bakteri atau virus atau epidermis dari setiap jenis kulit atau molekul-molekul atom dengan berbagai macam rumus, tapi mereka tetap butuh “kata-kata indah” untuk menyampaikan hasil penelitian mereka. Apa kamu tidak sadar, banyak ilmuwan yang telah melahirkan kata-kata indah, hmmm.. disebut quotes, yang sampai sekarang masih dipakai, walau kata-kata itu sudah berumur puluhan tahun bahkan ratusan tahun.

'Generation to come will scarce believe that such a one as this, ever in flesh and blood walked up on this earth. Albert Einstein to Mahatma Gandhi.'
”, berucap dengan percaya diri.

I’m enough of an artist to draw freely upon my important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world. Albert Einstein.
Pfiuh, hehehe… -sela- kalau begitu aku pergi dulu ke rak Psikologi.” Pria itu menepuk bahu Karma sebelah kanan, lalu pergi.

Karma berbalik badan kemudian berteriak kepada pria yang berjalan menjauhinya, “Kenapa ke rak Psikologi, kamu kan anak Arsitektur, apa jiwa mu sedang terganggu??”.

“Mencari ketenangan jiwa yang rapuh.” sambil tersenyum.

“Ketenangan jiwa yang rapuh? “. Karma membatin.

Masih berdiri di depan rak “Novel Sastra”.
Membaca setiap judul buku, membolak-balikkan buku, membaca ringkasan cerita di cover belakang buku.
Sebuah alunan musik dengan beat yang slow berkumandang membuat suasana jadi tenang, tapi tiba-tiba ketenangan itu dirusak oleh suara SMS yang masuk ke Handphone-nya. Dibacanya SMS itu, SMS yang bertuliskan dengan huruf kapital dengan tanda seru di akhir kalimat:
“KAMU BODOH MASIH MENYAYANGI DIA!”

Alunan musik itu mengiringi suara perempuan, sang vokalis.

“She was lost in so many different ways
Out in darkness with no guide
I know the cost of a losing hand
Ever for the grace of God, go I
I found heaven on earth
You are my last, my first
And then, I hear this voice inside…
Ave Maria…” [Beyonce – Ave Maria]


Matanya mulai berair, bukan karena AC atau juga bukan karena debu-debu dari buku-buku yang ada di hadapannya tapi karena isi SMS itu. Air mata itu menggumpal di pelupuk mata, ditampung kemudian, -tess- tumpah dan berpindah tempat di pipi kiri dan kanan. Dia menunduk, merunduk, kemudian terduduk di depan rak “Novel Sastra”. Air mata itu semakin mengalir bebas. Mata itu mengabur, semua kalimat-kalimat sastra itu serasa menari kanan kiri, kabur, bergoyang-goyang karena bias air mata.

Lagu sudah berganti. Tetap dengan beat yang slow dan entah kenapa suara perempuan kali ini semakin mengiris-iris hatinya. Lagu apa ini??

I know
You don’t really see my worth
You think you’re the last guy on earth
Well I've got news for you
I know I'm not that strong
But it won't take long
Won't take long

Coz someday, someone's gonna love me
The way, I want you to need me
Someday, someone's gonna take your place
One day I'll forget about you
You'll see, I won't even miss you
Someday, someday


Tak ingin dilihat aneh oleh orang banyak, tak ingin terekam oleh kamera CCTV di pojok kanan atas atap, dia menyeka air mata itu dengan telapak tangan, lalu mengambil sebuah buku kecil berwarna abu-abu bergaris hitam, ungu, hijau, merah kembali hitam dengan silhouette wajah sang penyair. Buku kecil itu lahir dari tangan seorang sutradara terNAMA. Buku itu diberi nama “Aku”, Sjuman Djaya – berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar. Buku itu sekarang dia jadikan pengalihan atas air mata yang telah membuatnya seperti Itik Buruk Rupa di dongeng-dongeng anak kecil. Dibukanya lembar demi lembar. Hingga pada satu lembar halaman, yang berisikan sebuah narasi.

Lagu itu berlanjut, lirik indah yang menyiratkan kata ‘semangat’.

Lagu itu seperti menyatu pada narasi yang dibacanya.

Aku bekerja
Bukan buat ke pesta
Ini muka penuh luka [But now]
Siapa punya? [I know]
Kudengar seru menderu [you can't tell,]
Dalam hatiku [I'm down]
Apa hanya angin lalu? [and I'm not]
Lagu lain pula [down anyway]
Menggelepar tengah malam buta [But one day these tears]
Ah…!!!
Segala menebal, segala mengental [They will all run dry]
Segala tak kukenal… [I won't have to cry]
Selamat tinggal….! [Chairil Anwar] [Sweet goodbye] [Nina – Someday]

Suara mu, Pagi ku

4:22 pm Posted by write over the rainbow

malam yang sudah pagi.

suaranya menemani awal tidur ku.
katanya menina bobokanku.
deru nafasnya lelapkan tidurku.

tapi raganya tak disampingku.


[23.08.2009, 6:37 PM]