Karmanyca’s Story V; Thank You and Dream

10:53 am Posted by write over the rainbow


Jam di dinding menunjukkan pukul 20.33 WIB, Karmanyca baru saja sampai di rumahnya. Dia baru pulang dari Rumah Sakit Bersalin menjenguk kakak iparnya yang baru saja melahirkan anak pertama. Kedua kakinya lelah menginjak pedal gas mobil. Capek yang tak terkira. Ya, capek yang tak terkira. Baru kemarin dia membawa pergi mobilnya keluar dari perbatasan kota Jogja menuju salah satu kabupaten di kota Jogjakarta untuk menghadiri wisuda seorang teman dan baru sampai di rumahnya, Jogjakarta, sore hari. Hari ini, dia harus membawa mobilnya kembali ke Rumah Sakit Bersalin untuk melihat keponakannya yang baru lahir.

Kaki sebelah kiri Karmanyca banyak terdapat lebam biru karena kelelahan, bukan karena penganiayaan. Hal itu biasa terjadi dirinya ketika merasa sangat kelelahan. Badannya terasa gerah, Karmanyca memutuskan untuk mandi. Jam masih menunjukkan pukul 21.17 WIB tapi mata Karmanyca sudah menyipit mengantuk. Berbaring di tempat tidur sambil membaca teenlit yang dipinjam dari teman semasa SMA dulu, Karmanyca sudah mengantuk yang tak tertahan tapi harus ditahannya, karena dia belum curhat kepada Yang Di Atas sana. Setelah itu, Karmanyca tertidur dengan pulasnya.

Pukul 03.20 WIB tiba-tiba Karmanyca terbangun. Matanya membelalak besar. Mimpi itu benar-benar masih diingatnya dengan jelas. Mimpi dimana Karmanyca dan Edwin di malam terakhir di kamarnya. Di dalam pelukan Edwin, Karmanyca mengucapkan ‘Terima Kasih’.
“Win, makasih ya…”, ditatapnya mata pria yang sedang memeluknya itu.
“Makasih untuk apa Karmanyca??”, bingung dengan ucapan ‘Terima Kasih’ dari Karmanyca karena dia merasa tidak memberikan apa-apa atau surprise apapun pada gadis yang sedang dalam pelukannya ini.
“Terima kasih untuk semuanya… “, Karmanyca tersenyum bahagia lalu mencium Edwin.

Edwin hanya bisa diam menyulam senyum manis tapi dalam hatinya merasa bersalah atas semua yang telah dia berikan pada Karmanyca. Semua kebohongan yang telah dia berikan.

Mimpi itu, Karmanyca tak mengerti apa artinya karena pada kenyataannya, pada malam itu tak sekalipun dirinya mengucapkan rasa ‘Terima Kasih’ pada Edwin atas semua yang dia lalui bersama Edwin. Pahit atau manis. Rasa ‘Terima Kasih’ itu tak pernah Karmanyca layangkan pada Edwin.

suara mu

10:54 am Posted by write over the rainbow

malam itu... aku nggak tahu, apakah harus senang atau sedih, kesal atau marah... yang ku tahu, aku hanya kaget, melihat nomor handphone mu tertera di layar handphone ku...

setelah satu bulan, kita nggak ngobrol, ketawa-ketawa, berantem, ya apapun itu yang selalu kita lakukan dulu... akhirnya aku bisa mendengar suara mu lagi...

perasaan ku campur aduk terhadap kamu...

mungkin aku masih sayang kamu...

Karmanyca's Story IV; Pray

10:19 am Posted by write over the rainbow


Oh, God give me a reason
I’m down on bended knee…

[Boyz II Men – On Bended Knee]

Cermin 150 cm x 50 cm dipenuhi penampakan gadis yang menatap dirinya sendiri di cermin itu. Diletakkan tangannya di tulang selangka, dan menyentuh daerah yang ada di antara tulang selangka dan payudaranya. Benjolan itu terasa semakin besar. Benjolan itu sudah ada sejak dia masih duduk di bangku SMA, tapi tak sekalipun pernah dia memeriksakan diri ke dokter. Takut. Itu hal pertama yang dirasakannya. Tak siap menerima hasil pemeriksaan dokter. Seandainya, seandainya itu adalah Kista yang jinak mungkin dia siap menerima pengobatan dalam bentuk apapun, tapi lain hal jika itu adalah tumor ganas atau kanker. Tak ada kesiapan untuk menerima hasil pemeriksaan bahkan menjalani segala jenis pengobatan.

“Tuhan, sehatkan aku, jauhkan aku dari segala jenis penyakit agar aku dapat selalu berkumpul bersama keluarga-ku. Amin.”, Karmanyca berdoa dalam lamunnya.


Karmanyca kemudian berbaring ke tempat tidurnya. Diambilnya Handphone yang ada di samping tubuhnya, kemudian dia melihat fitur kalender dalam handphone itu. Satu bulan. Sudah satu bulan dia tak berkomunikasi dengan Edwin. Dia menghembuskan nafas panjang. Lelah. Karmanyca berpindah fitur ke Internet Application, dibukanya salah satu account-nya di jejaring sosial. Tak dapat dielakkan, tangannya mengetik nama ‘Edwin Soedrajat’ pada kotak pencarian teman. Dag dig dug dag dig dug yang dirasakannya ketika jejaring sosial itu sedang dalam proses pencarian profile ‘Edwin Soedrajat’. Karmanyca sebenarnya tak ingin melihat profile Edwin, tapi rasa ingin tahunya ternyata lebih besar daripada rasa ketakingintahuannya. Dia ingin tahu apa yang sekarang dilakukan Edwin di pulau sana? Apa yang sedang Edwin rasakan di pulau sana? Apa dan apa, itu lah yang diinginkan Karmanyca saat ini. Profile Edwin telah selesai dalam pencarian. Status update Edwin saat itu; I know I'll see you again whether far or soon but I need you to know, that I care and I miss you.... Membaca kalimat itu, sesak dirasa Karmanyca. Dia tahu, kalimat itu bukan untuk dirinya, tapi untuk perempuan lain. Dia merasakan amarah bercampur jadi satu bersama cemburu tapi tentu saja takaran amarah lebih banyak. Rasa benci yang dia layangkan pada Edwin seminggu yang lalu berubah status menjadi dendam. Dendam.

“You’ll never find someone like me. The person who hurt you, people who disrupt your life, people who make you angry and feel so annoyed… You’ll miss me.”


Kalimat itu tiba-tiba berputar di kepala Karmanyca. Edwin mengirim pesan itu kepada Karmanyca, ketika mereka masih bersama. Satu pesan yang begitu percaya dirinya seorang Edwin, tapi dibenarkan oleh Karmanyca. Edwinlah yang selalu bisa membuat Karmanyca dipenuhi rasa amarah, Edwinlah yang selalu mengganggu kehidupan Karmanyca, dan Edwin jugalah yang selalu membuat Karmanyca sakit hati tapi Edwin juga yang bisa membuat Karmanyca begitu merindukan musuh sekaligus cintanya itu, Edwin Soedrajat. Sekarang, rasa rindu itu berganti rasa dengan dendam. Begitu besar rasa dendam Karmanyca kepada Edwin sehingga ingin sekali Karmanyca menampar pipi Edwin jika ada di hadapannya.

“Tuhan, aku tahu Kau tak pernah mengajarkan dan mengijijnkan aku untuk mendendam pada anak-anak-Mu yang lain. Tuhan, selimuti dendamku ini dengan kasih-Mu agar aku dapat mengasihi anak-Mu, Edwin Soedrajat. Amin.”, Karmanyca berdoa dalam dendamnya.

Karmanyca's Story III; Unsent Letter from Karmanyca

2:59 pm Posted by write over the rainbow

Dear Edwin,
Gimana hari-hari kamu? Moga baik-baik aja seperti hariku. Semoga kamu sehat ya disana. Sekarang aku lagi di Bandung loh… aku baru nyampe kemarin. Sayang ya, sekarang kamu udah nggak tinggal di Jakarta lagi malah pindah kerja ke Bali, padahal kalau kamu ada di Jakarta kamu bisa meluangkan waktu kamu untuk aku sebentar di Bandung. Ya hitung-hitung kamu refreshing dari hiruk pikuk kota Jakarta. Sebenarnya aku bingung, aku mau ngapain di Bandung, tiba-tiba aja aku pengen ke Bandung, jadi datanglah aku. Mungkin karena nggak ada kamu kali ya, makanya aku bingung. Hehehe… padahal tempat yang mau dikunjungi di Kota Bandung kan banyak, sebanyak di Jogja. Huft! Bosan di kosan Sari, aku pergi ke Ciwalk, tempat kita biasa nonton film di bioskop. Ciwalk serame itu tapi bisa serasa sepi loh nggak ada kamunya. Kayaknya iklan rokok: Nggak ada lo, nggak rame. Hahaha… Jalan sendirian di Broadway, terus melihat ke lantai dua Gokana Teppan tempat kita makan Mie Ramen, aku jadi senyum-senyum sendiri.

Aku juga ngelewati Zoe Comic Corner tempat kamu biasa baca komik ama majalah. Aku jadi ingat waktu aku nemeni kamu baca majalah. Kamu kalau udah baca buku jadi lupa segalanya, bahkan lupa sama aku yang duduk di hadapan kamu. Hehehe… dasar autis… kalau malam udah tiba terus ngelewati R.S Boromeus aku jadi ingat waktu kita makan Bebek Boromeus. Ngelewati jalan Cilaki, aku jadi ingat waktu kita makan cumi, yang setelah itu bisa bikin aku radang tenggorokan ampe seminggu lebih, dan kamu merasa bersalah karena itu. Hahaha… dan ternyata setiap setelah kita makan cumi aku selalu radang tenggorokan, dan setelah itu kamu selalu menolak makan cumi karena takut aku kena radang tenggorokan lagi. Oh, iya waktu di rumah aku masak cumi, aku makan, aku nggak kena radang tenggorokan dong… :D Aku pergi makan malam ke The Kiosk, di meja yang sama aku pesan soto ayam yang kita makan dulu. Rasanya tetap sama, bedanya aku makan sendirian. Sepi banget Win rasanya… Turun dari The Kiosk ngelewati Hanamasa, aku ingat pertama kali banget kita jalan. Kamu selalu nagih traktiran ulang tahun ku ke Hanamasa, bahkan ketika aku pulang ke Jogja kamu juga masih nagih via Facebook. Akhirnya setelah aku balik ke Bandung, baru kita makan ke Hanamasa dan ternyata kita waiting list, padahal kita udah lapar banget, dan setelah makan kita ketawa-tawa karena engap-engapan nafasnya, saking kebanyakan makan.

Aku ke kosanku yang dulu dan melihat kamarku, kamar yang penuh dengan kenangan-kenangan indah dan pahit bersama kamu. Kamar itu sudah di tempati orang lain. Hihihihi… ada sedikit rasa tidak rela, kamar itu menjadi milik orang lain. Hehehe…
Aku pergi ke gereja. Jemaatnya banyak, tapi rasanya sepi banget. Aku berasa asing di gereja itu. Seperti baru pertama kali datang ke gereja. Aku berdoa, semoga kamu selalu sehat, dan selalu dalam perlindungan-Nya dan seringkali aku menangis kalau udah berdoa buat kamu, Win.

Pfiuh… semuanya terasa indah, Win… Hampir sempurna! Almost! Kalau saja kamu tidak mengambil keputusan itu, begitu juga aku, yang kembali mengambil keputusan atas hubungan kita.

Kamu tahu, selama ini aku selalu tutup mata tentang apa yang dikatakan orang, tentang apa yang dinasehatkan orang kepadaku atas kamu. Mereka bilang, kamu ini, kamu itu, dan mereka bilang seharusnya aku begini, aku begitu, aku tahu semua tentang kamu, Win tapi aku tutup mata. Aku nggak tahu, seberapa besar rasa sayang ku, rasa cintaku ke kamu, sampai aku bisa seperti ini. Aku berubah begitu bahagia jika kamu ada di samping ku. Aku bisa lupa diri, aku bisa lupa semuanya karena kamu. Siapa kamu sebenarnya Edwin? Sihir apa yang kamu pakai untuk menaklukan aku yang mempunyai sifat sekeras ini, bisa selembut itu ketika bersama kamu. Baru kamu yang bisa bikin aku seperti ini.

Aku nggak pernah merasakan apa yang aku rasakan terhadap kamu sebelumnya. Aku nggak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Aku nggak pernah bertemu makhluk seindah kamu sebelumnya. Kamu, baru kamu yang bisa bikin aku sebahagia itu dan kamu anugerah terindah yang pernah aku miliki.

Tapi ternyata anugerah itupun tak selamanya indah, Win. Tak seindah kebersamaan kita yang menurutku itu hanya mimpi ku belaka. Kamu yang tak mau berkomitmen dengan ku karena alasan yang kamu buat-buat padahal sebenarnya aku tahu alasan sebenarnya, karena ada perempuan lain. Dan sekarang kamu harus tahu, Edwin ku sayang… aku harus move on… hubungan kita harus benar-benar berakhir… jangan pernah hubungi aku lagi. Biarkan aku hidup tenang, tanpa harus ada embel-embel kamu di belakangnya.

Terima kasih untuk semua kenangan indah yang udah kamu kasih ke aku. Terima kasih karena kamu udah buat hidup aku berwarna seperti pelangi, terima kasih untuk semua pelukan kamu, untuk semua tawa dan tangis… makasih… karena kamu sudah memberikan kebahagiaan buat aku, walau cuma sebentar.

Karmanyca.

Karmanyca’s Story 2: If I Knew Then.

3:48 pm Posted by write over the rainbow

Malam itu telah larut, bahkan pagi menunggu gilirannya.
“Kamu sudah tidur??”, Karmanyca mendapat SMS dari Edwin, pria yang entah siapa dia sebenarnya didiri Karmanyca. Pacar bukan, bukan juga teman. Tapi hubungan ini seperti permen Nano-Nano, ada asam, ada asin, ada manis. It’s a complicated relationship that she ever done.

Karmanyca menerima SMS dengan mata setengah terbuka, dilihat jam weaker pada meja kerjanya, pukul setengah dua pagi. Setengah dua pagi dan Karmanyca sudah tidur sejak pukul sepuluh malam, tapi dia tetap membalas SMS Edwin.
“Aku belum tidur… Kenapa?? Kamu dimana? Masih di Club?”, white lie demi Edwin tak apa pikirnya.
“Aku mau pulang, kamu bukain gerbang yaa…”
“Iya… hati-hati di jalan ya…”

Pukul 8 malam, Edwin pamit pergi ke Club bersama Daniel teman kuliahnya dulu, dan Karmanyca berpikir Edwin tak kan pulang ke rumahnya tapi menginap di rumah Daniel. Perkiraan yang salah pikir Karmanyca, ternyata Edwin pulang ke rumahnya.

30 menit kemudian Edwin sampai di rumah Karmanyca. Memasuki kamar gadis itu, Edwin mengganti kemeja dan jeansnya dengan baju tidur kemudian membaringkan diri di samping Karmanyca. Karmanyca memeluk erat Edwin, tak tahu kenapa malam itu dia sangat merindukan Edwin padahal seharian tadi Edwin bersama dirinya mengelilingi seluruh factory outlet di kota Bandung, mencari kemeja kerja untuk Edwin. Edwin pun memeluk gadis yang terbaring disebelahnya dengan erat. Pelukan itu terasa beda di diri Karmanyca, apakah karena malam itu adalah malam terakhir bagi mereka? Atau mungkin, karena hubungan ini sudah berakhir sejak seminggu kemarin.

Karmanyca ingat sekali malam itu, adalah hari Kamis. Edwin menelponnya pada pukul 6 sore, ketika Karmanyca sedang dalam tugas reportase di Lucky Square Bandung. Edwin menelpon Karmanyca karena sudah dua hari Karmanyca tidak memberi kabar pada dirinya.
“Kemana aja kamu? Dua hari nggak kasih kabar, di SMS nggak pernah di balas…”, tanya Edwin kesal.
Di ujung telepon, Karmanyca tersenyum manis dan geli menerima celotehan Edwin, “Aku nggak ada pulsa… makanya nggak ngasih kabar…”, berbohong untuk yang kesekian kali, beribu-ribu pulsa di handphone Karmanyca, tapi entah kenapa memang dua hari itu dia sengaja tidak menghubungi Edwin dengan alasan yang tidak jelas pula.
“Biasanya kalau kamu nggak ada pulsa, kamu pinjam nomor orang cuma untuk ngasih tahu kalau kamu lagi nggak ada pulsa… kenapa sekarang nggak??”
“O..o... bohong yang salah… aku harus jawab apa ini??”, Karmanyca membatin bingung. “Ya, aku nggak enaklah pinjam pulsa orang mulu.. kamu kenapa seh?? Baru dua hari juga aku nggak ada kabar udah blingsatan gini…”
“Bukan gitu, tapi ya nggak biasanya aja… sejak kapan kamu nggak balas SMS aku, nggak pernah. Kalau emang kamu nggak ada pulsa, biasanya kamu selalu pinjam nomor orang cuma untuk ngasih tahu kalau kamu lagi nggak ada pulsa. Kok sekarang tiba-tiba hilang, kamu tuh kebiasaan tahu suka hilang tanpa alasan yang nggak jelas terus besoknya tiba-tiba muncul kayak nggak ada rasa bersalah udah nggak ngasih kabar, udah nyuekin aku… Kamu lagi ngapain??”, Edwin terus berceloteh seperti ibu-ibu yang memarahi anak gadisnya yang pulang lewat jam malam.
“Iya udah, aku minta maaf, lain kali aku nggak bakalan ngelakuin hal kayak gini lagi. Aku pasti kasih kabar, dan kalau aku emang nggak ada pulsa aku pasti ngasih tahu… Aku lagi reportase sekarang…”, berusaha meredakan emosi Edwin.
“Reportase dimana? Kamu pulang jam berapa nanti?”
“Aku reportase di Lucky Square. Nanti aku pulang pukul tujuh, mungkin nyampe rumah pukul delapan, ntar aku pulang pake OB-Van kok…” Karmanyca dengan sabar menjawab semua pertanyaan Edwin satu demi satu.
“Ya udah ntar malam aku telpon lagi… hati-hati pulangnya…”. Karmanyca tidak tahu kalau malam ini adalah malam dimana Edwin akan memberi keputusan secara sepihak atas hubungan mereka.

Edwin memenuhi janjinya akan menelpon Karmanyca pada pukul sebelas malam. Setelah dua jam Edwin menelpon, Karmanyca bingung dengan sikap Edwin, tidak biasanya dia betah berbicara via telepon selama dua jam lebih, dan ini sudah waktunya tidur.
“Kamu nggak ngantuk??”, tanya Karmanyca.
“Nggak, kamu udah ngantuk ya??”, Edwin berbalik tanya.
“Nggak, aku belum ngantuk. Tumben kamu betah nelpon dua jam lebih?”, masih bingung dengan sikap Edwin.
“Nggak boleh aku nelpon kamu lebih dari dua jam?? Kalau nggak boleh, biar aku tutup teleponnya…”, Edwin menjawab dengan santai.
“Nggak, boleh aja kamu nelpon… tapi kan kamu pernah bilang sama aku kalau kamu nggak suka nelpon atau terima telpon lama-lama…”
“Aku pengen ngobrol lama aja dengan kamu, udah lama kita nggak ngobrol kayak gini..” Karmanyca semakin bingung, dirinya merasakan sesuatu yang aneh akan terjadi.
“Kita kan selalu SMS-an, tiap malam kalau mau tidur pasti telpon-telponan, emang nggak cukup ya?? Hehehehe…” berusaha menggali jawaban yang tepat dari Edwin.
“Nggak cukup. Lagian kita udah lama nggak ketemu juga, aku kan kangen sama kamu…” Edwin kembali ke wujud semula, Karmanyca lega, akhirnya gombalannya muncul kembali.
“Hahahaha…kita baru nggak ketemu 17 hari sejak kamu balik ke Jakarta, sayang. It’s that a long time for you?? I miss you too… Hahaha…” itu Edwin yang sebenarnya, Edwin-ku, Karmanyca tersenyum di balik handphonenya. Edwin yang suka memberikan dirinya gombalan-gombalan yang bisa membuatnya geleng-geleng kepala, tertawa geli dan tersipu-sipu malu.

Tiga jam, empat jam, obrolan itu semakin asyik dan pagi sudah menjemput. Sinar matahari dua jam lagi mulai bangun dari tidurnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi dan ini sudah jam ke-lima Edwin dan Karmanyca mengobrol via telephone, tiba-tiba Edwin mengajukan pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Karmanyca. “Inikah firasat buruk yang aku rasakan sejak tadi?!” gugup mendapat pertanyaan seperti itu dari Edwin.
“Karmanyca, kamu sayang sama aku??”, inilah pertanyaan yang sejak lima jam yang lalu ingin Edwin ajukan pada Karmanyca. Pertanyaan inilah yang menjadi tujuan utama Edwin menelphone Karmanyca selama lima jam. Edwin harus melakukan dan mengajukan pertanyaan ini, pikirnya, demi hubungan yang “tak tentu” arah ini.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa ini tujuan kamu nelpon aku berjam-jam sampai subuh? Kenapa nggak dari tadi kalau kamu hanya ingin bertanya “apakah aku sayang kamu?” ? Aku rasa, tanpa aku jawab, kamu pasti tahu jawabannya”, perasaannya campur aduk.
“Aku nggak pernah tahu perasaan kamu, makanya aku nanya sama kamu, kamu sayang aku, Karmanyca?”, kembali mengajukan pertanyaan yang sama.
“Edwin, aku sayang kamu.”, Karmanyca menjawab dengan pasti.
“Aku yakin kamu pasti tahu, kalau aku sayang sama kamu…”
“Aku… Aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini Karmanyca…”, suara Edwin terhenti, dan bergema di telinga Karmanyca. Pernyataan Edwin itu seperti petir di siang bolong bagi Karmanyca.
“Kenapa?”, tanya Karmanyca halus, berusaha menutupi kesedihan, isak tangis yang di tahannya.
“Aku nggak bisa menjalani hubungi jarak jauh. Apalagi kamu mau pulang ke Jogjakarta. Aku nggak yakin bisa menjalani hubungi seperti itu. Aku nggak yakin sama diri aku.” Edwin berusaha memberi penjelasan yang bisa diterima Karmanyca.
“Apa bedanya Bandung- Jakarta dengan Jakarta – Jogjakarta, Win??”
“Jadi, yang selama ini kita jalani apa, Win??” Karmanyca berusaha mengendalikan dirinya, tapi rasa sayangnya terhadap Edwin tak terbendung lagi, dia tidak mau kehilangan Edwin.
“Karmanyca, aku sayang kamu. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak yakin dengan diri aku sendiri. Kamu tahu aku memiliki banyak teman wanita, apa kamu tahan mendengar dan melihat aku jalan dengan perempuan lain. Kamu orangnya cemburuan Karmanyca, kamu tahu itu. Kamu orang yang terlalu cepat berburuk sangka, apa kamu mau setiap hari merasakan perasaan seperti itu? Setiap hari selalu cemburu dan berburuk sangka terhadap aku?? Aku tahu, kamu pasti setia, tapi aku nggak yakin dengan kesetiaan aku terhadap kamu.” Karmanyca merasa hari ini adalah hari sialnya. Lelah seharian reportase, belum tidur, dan harus ke kantor pukul delapan pagi untuk menulis laporan, kemudian pukul dua siang harus menghadiri konferensi pers di sebuah rumah makan Sumatra di kota Bandung, berlanjut reportase pukul tiga sore. Penjelasan Edwin atas hubungan mereka seperti tabuh genderang suku Aztec yang akan memulai ritual penyembahan berhala. Detak jantungnya seperti habis melakukan lari Sprint yang selalu Karmanyca lakukan semasa SMP dulu. Karmanyca terdiam mendengar semua penjelasan Edwin. Dia yakin suatu saat moment seperti ini akan tiba, tapi dia tidak pernah mengira kalau moment seperti ini akan tiba di subuh Hari Jumat.
“Karmanyca? Kamu masih di situ?”, Edwin sadar dia sudah kehilangan Karmanyca di balik telephone.
“Iya, aku masih di sini. Terus, kamu maunya kita bagaimana sekarang?”,
“Aku, aku mau kita berteman saja.”
“Bukannya, selama ini kita juga sudah berteman, Win?”
“Maksudku, kita berteman seperti laiaknya teman.” Edwin menutupi kegugupannya. Dia merasakan boomerang yang dilemparnya kembali ke tangannya tanpa melukai sang lawan.
“Hmmm… baiklah. Jadi, kita sekarang teman?? Hehehe… “ Karmanyca semakin terpuruk dengan perkataannya sendiri.
“Iya… hehehe… hmmm… Karmanyca, aku harap kamu nggak berubah setelah ini. Aku mau kamu tetap menjadi Karmanyca yang kemarin-kemarin… mau kan??” Edwin bingung dengan apa yang dia ucapkan.
“Bodoh, mana mungkin bisa aku tidak berubah. Aku pasti berubah. Aku butuh waktu, Win.” Bisik hati Karmanyca. “Iya, aku nggak akan berubah.” Kembali untuk yang kesekian kalinya dia membohongi Edwin.
“Kamu janji??”
“Aku janji.” Mengikuti semua yang diminta Edwin. Berusaha berdamai dengan keadaan.
“Hmmm… Karmanyca, aku tidur yaa… kamu juga nanti mau ke kantor kan?? Ntar kamu ngantuk lagi di kantor… hehehe…”
“Iya, nanti aku mau ke kantor tapi kayaknya aku nggak tidur lagi. Tanggung. Ini juga sudah pukul lima pagi, ntar yang ada aku ketiduran. Ya udah, kamu tidur aja duluan gih…”
“Ya udah, aku tidur duluan ya… Miss you Karmanyca…”
Miss you too, Win…”



Obrolan itu berhenti tepat pukul lima pagi. Karmanyca memang tidak tidur, tepatnya tidak bisa tidur. Semua kejadian, peristiwa, moment yang dia lewati bersama Edwin, berputar di kepalanya bagai slide show. Bagaimana bisa berakhir seperti ini?

Dalam pelukan Edwin, Karmanyca merasakan ketenangan yang bersatu dengan beribu-ribu tanda tanya. Persahabatan seperti inikah yang ditawarkan Edwin kepadanya?
“Kamu tadi minum berapa botol??”, tanya Karmanyca yang mencium bau alcohol dari mulut Edwin.
“Hmmm… masih mau bau alcohol ya? Nggak ampe minum berapa botol, aku cuma minum dua slooky kok…” Edwin menjawab sambil tersenyum kembali memeluk erat Karmanyca.

Mereka terdiam dalam pelukan. Lama sekali.

Ditatapnya Edwin yang belum menutup mata.
“Kok belum tidur? Ada apa?” tanya Karmanyca dalam pelukan Edwin.
“Hmmm.. Nggak ada apa-apa…” jawab Edwin menatap gadis yang ada dalam pelukannya sekarang. Edwin menyembunyikan sesuatu dari Karmanyca dan gadis itu bisa merasakan hal itu. Mereka terdiam dalam pikiran mereka masing-masing.

“Bagaimana kelanjutan hubungan ini? Oh Tuhan, kami melakukan apa yang seharusnya tidak kami lakukan. Apa yang sedang kamu pikirkan, Edwin?? Beri tahu aku… Oh Tuhan, apa yang seharusnya ku lakukan?”. Karmanyca.

“Oh Tuhan, apa yang telah ku lakukan… Aku telah menyakiti Karmanyca, Aku telah membohonginya selama ini… Aku menyayanginya tapi tidak seperti ini caranya… Karmanyca, apa yang akan kamu pikirkan tentang aku jika kamu tahu semua kebohongan yang telah aku lakukan? Haruskah aku memberi tahu mu? Oh Tuhan, apa yang seharusnya ku lakukan?”. Edwin.

Edwin mencium Karmanyca, tapi ciuman itu terasa beda bagi Karmanyca. Ciuman yang mengatakan, “Aku menyayangi mu, tapi maaf… “
Ada “maaf” pada ciuman itu. Ada rasa “bersalah” pada ciuman itu.
Lelah dengan begitu banyak pemikiran di kepala mereka, akhirnya mereka tertidur. Mereka tidak tahu, begitu banyak hal yang akan mereka alami di kemudian hari setelah malam ini.

“Tuhan, jadikanlah semua ini sesuai kehendak-Mu bukan kehendak ku”, Karmanyca berdoa dalam tidurnya.

Menjadi Perempuan Selingkuhan itu Pilihan

1:54 pm Posted by write over the rainbow

“Aku hanya heran, dari mana kamu dapat ide cerita seperti itu?”
“Ide cerita ini aku dapat, ketika kita tidur bersama kemudian di pagi harinya kamu mendapat telephone dari perempuan lain.”
“Kok bisa??”
“Aku hanya merasa seperti perempuan selingkuhan…”
”Sejak kapan kamu jadi selingkuhan ku??”
“Aku tidak bilang “Aku selingkuhan mu… Lagipula jika aku adalah perempuan selingkuhan, apakah laki-lakinya harus kamu??”

Adam dan Hawa.

Menjadi perempuan selingkuhan bukan keinginan setiap perempuan di bumi ini, tapi ini merupakan pilihan bagi mereka. Mereka harus memilih, tetap bersama pria yang mereka cintai walaupun menjadi selingkuhan atau melepaskan pria yang mereka cintai dengan ikhlas bersama perempuan yang sudah sah menurut AGAMA ataupun NEGARA.

[mono] “Jika suatu saat Tuhan memberi pilihan pada mereka atau bahkan padaku {suatu saat nanti};
“Mau jadi selingkuhannya atau tidak?? Semua kuserahkan padamu, aku hanya memberi jalan pada mu untuk tetap bersamanya??” (Kita tahu Tuhan tidak sejahat itu pada umatnya, itu hanya sebuah pengandaian belaka.)
Mungkin Aku bersama perempuan [yang akan menjadi selingkuhan] akan menjawab “Iya aku mau menjadi selingkuhannya. Ini kami lakukan demi laki-laki yang kami cintai. “
[berusaha untuk tidak menjadi perempuan yang munafik]

Kembali lagi ke awal, ini bukan kemauan mereka tapi pilihan mereka. Tidak ada yang memaksa.

Menempatkan diri sebagai perempuan selingkuhan ternyata sakit juga [pikirku], tapi mungkin, bukan “sakit juga”, tapi bisa “sakit banget”… Ya, keterbatasan yang mereka miliki untuk menjadi pemegang “Hak Milik” dari laki-laki yang mereka cintai membuat mereka menjadi bagian dari manusia yang “HURA HURA GALAU” [itu kata anak anak ABG jaman sekarang]. Hehehe…

Mereka menikmati keadaan mereka yang berstatus “selingkuhan” [apa ya kerennya… hmmm.. “She's like available but not available at all" atau TTM [sekali lagi kata anak anak ABG]… Teman Tapi Mesra.. Teman, tapi kok rasanya mesra mampus amat ya??? Amat aja nggak ampe mampus mesranya. Hehehe….” [seperti kata lagu “Selingkuh itu Indah”]. Di sisi lain dari ke HURA HURA an mereka, mereka GALAU, mereka berpikir, mereka meratapi nasib, “Sampai kapan harus seperti ini??” [menyedihkan, bukan?]

Memikirkan dan membayangkan betapa sakit hatinya menjadi perempuan – perempuan selingkuhan, tidur bersama laki-laki yang mereka cintai, kemudian di pagi harinya, laki-laki itu mendapat telephone dari sang istri yang bertanya,

“Pa, lagi dimana?? kok nggak pulang-pulang??!!”
Dan sang lelaki [suami] menjawab, “Di kantor Ma, Papa lembur… lagi banyak kerjaan…”

Itu percakapan dalam konteks hubungan pernikahan, bagaimana dengan hubungan pacaran?? Mungkin akan seperti ini jadinya…

“Sayang, kamu dimana??? Kok dari tadi malam hape kamu nggak bisa di hubungi….”
Dan sang lelaki [pacar] menjawab, “Aku di rumah sayang, aku capek banget tadi malam, jadi nggak sempat ngasih kabar ke kamu…”

Di kantor?? Di rumah?? Ya di kantor, tapi kantor yang tidak ada meja kerja nya. Di rumah. Memang di rumah tapi bukan rumah sendiri. Laki-laki.

Apa kaum laki-laki tidak capek, terus terusan berbohong???

Hmmm… kemarin aku sedikit tertawa mendengar ada seorang laki-laki berbohong di telephone. Dia menjawab “Di rumah…”. Tapi kebohongannya juga membuat kening ku mengernyit karena pada kenyataan dia tidak di rumah, tapi “Di rumah”… begitu susah kah menyebutkan dimana mereka sebenarnya berada? Toh kalo mereka menjawab jujur tidak ada salahnya, kecuali perempuan mereka memang benar-benar mempunyai sifat KECURIGAAN dan KECEMBURUAN yang TINGGI, mungkin akan beda ceritanya. Mau di jawab seberapa jujurnya sampai jungkir balik pun kalau mereka tidak percaya, ya tidak percaya. Perempuan.

“Cerita tentang apa yang akan kamu tulis??”
“Tentang Pangeran yang punya 1001 Putri tapi cuma Putri yang ke-1001 yang menerima dengan ikhlas keadaan Pangeran yang mempunyai 1001 Putri termasuk dia.”
“Hubungannya Perempuan Selingkuhan dengan Putri Pangeran??”
“Hubungannya, Perempuan Selingkuhan: bahasanya di perhalus dan sedikit di tinggikan derajatnya menjadi seorang Putri. Kenapa???”.



by Enriany Rosianna