Karmanyca’s Story 2: If I Knew Then.

3:48 pm Posted by write over the rainbow

Malam itu telah larut, bahkan pagi menunggu gilirannya.
“Kamu sudah tidur??”, Karmanyca mendapat SMS dari Edwin, pria yang entah siapa dia sebenarnya didiri Karmanyca. Pacar bukan, bukan juga teman. Tapi hubungan ini seperti permen Nano-Nano, ada asam, ada asin, ada manis. It’s a complicated relationship that she ever done.

Karmanyca menerima SMS dengan mata setengah terbuka, dilihat jam weaker pada meja kerjanya, pukul setengah dua pagi. Setengah dua pagi dan Karmanyca sudah tidur sejak pukul sepuluh malam, tapi dia tetap membalas SMS Edwin.
“Aku belum tidur… Kenapa?? Kamu dimana? Masih di Club?”, white lie demi Edwin tak apa pikirnya.
“Aku mau pulang, kamu bukain gerbang yaa…”
“Iya… hati-hati di jalan ya…”

Pukul 8 malam, Edwin pamit pergi ke Club bersama Daniel teman kuliahnya dulu, dan Karmanyca berpikir Edwin tak kan pulang ke rumahnya tapi menginap di rumah Daniel. Perkiraan yang salah pikir Karmanyca, ternyata Edwin pulang ke rumahnya.

30 menit kemudian Edwin sampai di rumah Karmanyca. Memasuki kamar gadis itu, Edwin mengganti kemeja dan jeansnya dengan baju tidur kemudian membaringkan diri di samping Karmanyca. Karmanyca memeluk erat Edwin, tak tahu kenapa malam itu dia sangat merindukan Edwin padahal seharian tadi Edwin bersama dirinya mengelilingi seluruh factory outlet di kota Bandung, mencari kemeja kerja untuk Edwin. Edwin pun memeluk gadis yang terbaring disebelahnya dengan erat. Pelukan itu terasa beda di diri Karmanyca, apakah karena malam itu adalah malam terakhir bagi mereka? Atau mungkin, karena hubungan ini sudah berakhir sejak seminggu kemarin.

Karmanyca ingat sekali malam itu, adalah hari Kamis. Edwin menelponnya pada pukul 6 sore, ketika Karmanyca sedang dalam tugas reportase di Lucky Square Bandung. Edwin menelpon Karmanyca karena sudah dua hari Karmanyca tidak memberi kabar pada dirinya.
“Kemana aja kamu? Dua hari nggak kasih kabar, di SMS nggak pernah di balas…”, tanya Edwin kesal.
Di ujung telepon, Karmanyca tersenyum manis dan geli menerima celotehan Edwin, “Aku nggak ada pulsa… makanya nggak ngasih kabar…”, berbohong untuk yang kesekian kali, beribu-ribu pulsa di handphone Karmanyca, tapi entah kenapa memang dua hari itu dia sengaja tidak menghubungi Edwin dengan alasan yang tidak jelas pula.
“Biasanya kalau kamu nggak ada pulsa, kamu pinjam nomor orang cuma untuk ngasih tahu kalau kamu lagi nggak ada pulsa… kenapa sekarang nggak??”
“O..o... bohong yang salah… aku harus jawab apa ini??”, Karmanyca membatin bingung. “Ya, aku nggak enaklah pinjam pulsa orang mulu.. kamu kenapa seh?? Baru dua hari juga aku nggak ada kabar udah blingsatan gini…”
“Bukan gitu, tapi ya nggak biasanya aja… sejak kapan kamu nggak balas SMS aku, nggak pernah. Kalau emang kamu nggak ada pulsa, biasanya kamu selalu pinjam nomor orang cuma untuk ngasih tahu kalau kamu lagi nggak ada pulsa. Kok sekarang tiba-tiba hilang, kamu tuh kebiasaan tahu suka hilang tanpa alasan yang nggak jelas terus besoknya tiba-tiba muncul kayak nggak ada rasa bersalah udah nggak ngasih kabar, udah nyuekin aku… Kamu lagi ngapain??”, Edwin terus berceloteh seperti ibu-ibu yang memarahi anak gadisnya yang pulang lewat jam malam.
“Iya udah, aku minta maaf, lain kali aku nggak bakalan ngelakuin hal kayak gini lagi. Aku pasti kasih kabar, dan kalau aku emang nggak ada pulsa aku pasti ngasih tahu… Aku lagi reportase sekarang…”, berusaha meredakan emosi Edwin.
“Reportase dimana? Kamu pulang jam berapa nanti?”
“Aku reportase di Lucky Square. Nanti aku pulang pukul tujuh, mungkin nyampe rumah pukul delapan, ntar aku pulang pake OB-Van kok…” Karmanyca dengan sabar menjawab semua pertanyaan Edwin satu demi satu.
“Ya udah ntar malam aku telpon lagi… hati-hati pulangnya…”. Karmanyca tidak tahu kalau malam ini adalah malam dimana Edwin akan memberi keputusan secara sepihak atas hubungan mereka.

Edwin memenuhi janjinya akan menelpon Karmanyca pada pukul sebelas malam. Setelah dua jam Edwin menelpon, Karmanyca bingung dengan sikap Edwin, tidak biasanya dia betah berbicara via telepon selama dua jam lebih, dan ini sudah waktunya tidur.
“Kamu nggak ngantuk??”, tanya Karmanyca.
“Nggak, kamu udah ngantuk ya??”, Edwin berbalik tanya.
“Nggak, aku belum ngantuk. Tumben kamu betah nelpon dua jam lebih?”, masih bingung dengan sikap Edwin.
“Nggak boleh aku nelpon kamu lebih dari dua jam?? Kalau nggak boleh, biar aku tutup teleponnya…”, Edwin menjawab dengan santai.
“Nggak, boleh aja kamu nelpon… tapi kan kamu pernah bilang sama aku kalau kamu nggak suka nelpon atau terima telpon lama-lama…”
“Aku pengen ngobrol lama aja dengan kamu, udah lama kita nggak ngobrol kayak gini..” Karmanyca semakin bingung, dirinya merasakan sesuatu yang aneh akan terjadi.
“Kita kan selalu SMS-an, tiap malam kalau mau tidur pasti telpon-telponan, emang nggak cukup ya?? Hehehehe…” berusaha menggali jawaban yang tepat dari Edwin.
“Nggak cukup. Lagian kita udah lama nggak ketemu juga, aku kan kangen sama kamu…” Edwin kembali ke wujud semula, Karmanyca lega, akhirnya gombalannya muncul kembali.
“Hahahaha…kita baru nggak ketemu 17 hari sejak kamu balik ke Jakarta, sayang. It’s that a long time for you?? I miss you too… Hahaha…” itu Edwin yang sebenarnya, Edwin-ku, Karmanyca tersenyum di balik handphonenya. Edwin yang suka memberikan dirinya gombalan-gombalan yang bisa membuatnya geleng-geleng kepala, tertawa geli dan tersipu-sipu malu.

Tiga jam, empat jam, obrolan itu semakin asyik dan pagi sudah menjemput. Sinar matahari dua jam lagi mulai bangun dari tidurnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi dan ini sudah jam ke-lima Edwin dan Karmanyca mengobrol via telephone, tiba-tiba Edwin mengajukan pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Karmanyca. “Inikah firasat buruk yang aku rasakan sejak tadi?!” gugup mendapat pertanyaan seperti itu dari Edwin.
“Karmanyca, kamu sayang sama aku??”, inilah pertanyaan yang sejak lima jam yang lalu ingin Edwin ajukan pada Karmanyca. Pertanyaan inilah yang menjadi tujuan utama Edwin menelphone Karmanyca selama lima jam. Edwin harus melakukan dan mengajukan pertanyaan ini, pikirnya, demi hubungan yang “tak tentu” arah ini.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa ini tujuan kamu nelpon aku berjam-jam sampai subuh? Kenapa nggak dari tadi kalau kamu hanya ingin bertanya “apakah aku sayang kamu?” ? Aku rasa, tanpa aku jawab, kamu pasti tahu jawabannya”, perasaannya campur aduk.
“Aku nggak pernah tahu perasaan kamu, makanya aku nanya sama kamu, kamu sayang aku, Karmanyca?”, kembali mengajukan pertanyaan yang sama.
“Edwin, aku sayang kamu.”, Karmanyca menjawab dengan pasti.
“Aku yakin kamu pasti tahu, kalau aku sayang sama kamu…”
“Aku… Aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini Karmanyca…”, suara Edwin terhenti, dan bergema di telinga Karmanyca. Pernyataan Edwin itu seperti petir di siang bolong bagi Karmanyca.
“Kenapa?”, tanya Karmanyca halus, berusaha menutupi kesedihan, isak tangis yang di tahannya.
“Aku nggak bisa menjalani hubungi jarak jauh. Apalagi kamu mau pulang ke Jogjakarta. Aku nggak yakin bisa menjalani hubungi seperti itu. Aku nggak yakin sama diri aku.” Edwin berusaha memberi penjelasan yang bisa diterima Karmanyca.
“Apa bedanya Bandung- Jakarta dengan Jakarta – Jogjakarta, Win??”
“Jadi, yang selama ini kita jalani apa, Win??” Karmanyca berusaha mengendalikan dirinya, tapi rasa sayangnya terhadap Edwin tak terbendung lagi, dia tidak mau kehilangan Edwin.
“Karmanyca, aku sayang kamu. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak yakin dengan diri aku sendiri. Kamu tahu aku memiliki banyak teman wanita, apa kamu tahan mendengar dan melihat aku jalan dengan perempuan lain. Kamu orangnya cemburuan Karmanyca, kamu tahu itu. Kamu orang yang terlalu cepat berburuk sangka, apa kamu mau setiap hari merasakan perasaan seperti itu? Setiap hari selalu cemburu dan berburuk sangka terhadap aku?? Aku tahu, kamu pasti setia, tapi aku nggak yakin dengan kesetiaan aku terhadap kamu.” Karmanyca merasa hari ini adalah hari sialnya. Lelah seharian reportase, belum tidur, dan harus ke kantor pukul delapan pagi untuk menulis laporan, kemudian pukul dua siang harus menghadiri konferensi pers di sebuah rumah makan Sumatra di kota Bandung, berlanjut reportase pukul tiga sore. Penjelasan Edwin atas hubungan mereka seperti tabuh genderang suku Aztec yang akan memulai ritual penyembahan berhala. Detak jantungnya seperti habis melakukan lari Sprint yang selalu Karmanyca lakukan semasa SMP dulu. Karmanyca terdiam mendengar semua penjelasan Edwin. Dia yakin suatu saat moment seperti ini akan tiba, tapi dia tidak pernah mengira kalau moment seperti ini akan tiba di subuh Hari Jumat.
“Karmanyca? Kamu masih di situ?”, Edwin sadar dia sudah kehilangan Karmanyca di balik telephone.
“Iya, aku masih di sini. Terus, kamu maunya kita bagaimana sekarang?”,
“Aku, aku mau kita berteman saja.”
“Bukannya, selama ini kita juga sudah berteman, Win?”
“Maksudku, kita berteman seperti laiaknya teman.” Edwin menutupi kegugupannya. Dia merasakan boomerang yang dilemparnya kembali ke tangannya tanpa melukai sang lawan.
“Hmmm… baiklah. Jadi, kita sekarang teman?? Hehehe… “ Karmanyca semakin terpuruk dengan perkataannya sendiri.
“Iya… hehehe… hmmm… Karmanyca, aku harap kamu nggak berubah setelah ini. Aku mau kamu tetap menjadi Karmanyca yang kemarin-kemarin… mau kan??” Edwin bingung dengan apa yang dia ucapkan.
“Bodoh, mana mungkin bisa aku tidak berubah. Aku pasti berubah. Aku butuh waktu, Win.” Bisik hati Karmanyca. “Iya, aku nggak akan berubah.” Kembali untuk yang kesekian kalinya dia membohongi Edwin.
“Kamu janji??”
“Aku janji.” Mengikuti semua yang diminta Edwin. Berusaha berdamai dengan keadaan.
“Hmmm… Karmanyca, aku tidur yaa… kamu juga nanti mau ke kantor kan?? Ntar kamu ngantuk lagi di kantor… hehehe…”
“Iya, nanti aku mau ke kantor tapi kayaknya aku nggak tidur lagi. Tanggung. Ini juga sudah pukul lima pagi, ntar yang ada aku ketiduran. Ya udah, kamu tidur aja duluan gih…”
“Ya udah, aku tidur duluan ya… Miss you Karmanyca…”
Miss you too, Win…”



Obrolan itu berhenti tepat pukul lima pagi. Karmanyca memang tidak tidur, tepatnya tidak bisa tidur. Semua kejadian, peristiwa, moment yang dia lewati bersama Edwin, berputar di kepalanya bagai slide show. Bagaimana bisa berakhir seperti ini?

Dalam pelukan Edwin, Karmanyca merasakan ketenangan yang bersatu dengan beribu-ribu tanda tanya. Persahabatan seperti inikah yang ditawarkan Edwin kepadanya?
“Kamu tadi minum berapa botol??”, tanya Karmanyca yang mencium bau alcohol dari mulut Edwin.
“Hmmm… masih mau bau alcohol ya? Nggak ampe minum berapa botol, aku cuma minum dua slooky kok…” Edwin menjawab sambil tersenyum kembali memeluk erat Karmanyca.

Mereka terdiam dalam pelukan. Lama sekali.

Ditatapnya Edwin yang belum menutup mata.
“Kok belum tidur? Ada apa?” tanya Karmanyca dalam pelukan Edwin.
“Hmmm.. Nggak ada apa-apa…” jawab Edwin menatap gadis yang ada dalam pelukannya sekarang. Edwin menyembunyikan sesuatu dari Karmanyca dan gadis itu bisa merasakan hal itu. Mereka terdiam dalam pikiran mereka masing-masing.

“Bagaimana kelanjutan hubungan ini? Oh Tuhan, kami melakukan apa yang seharusnya tidak kami lakukan. Apa yang sedang kamu pikirkan, Edwin?? Beri tahu aku… Oh Tuhan, apa yang seharusnya ku lakukan?”. Karmanyca.

“Oh Tuhan, apa yang telah ku lakukan… Aku telah menyakiti Karmanyca, Aku telah membohonginya selama ini… Aku menyayanginya tapi tidak seperti ini caranya… Karmanyca, apa yang akan kamu pikirkan tentang aku jika kamu tahu semua kebohongan yang telah aku lakukan? Haruskah aku memberi tahu mu? Oh Tuhan, apa yang seharusnya ku lakukan?”. Edwin.

Edwin mencium Karmanyca, tapi ciuman itu terasa beda bagi Karmanyca. Ciuman yang mengatakan, “Aku menyayangi mu, tapi maaf… “
Ada “maaf” pada ciuman itu. Ada rasa “bersalah” pada ciuman itu.
Lelah dengan begitu banyak pemikiran di kepala mereka, akhirnya mereka tertidur. Mereka tidak tahu, begitu banyak hal yang akan mereka alami di kemudian hari setelah malam ini.

“Tuhan, jadikanlah semua ini sesuai kehendak-Mu bukan kehendak ku”, Karmanyca berdoa dalam tidurnya.

0 komentar:

Post a Comment