Balada Cinta; Anak Laki-laki Dengan Perempuan Tua

11:14 pm Posted by write over the rainbow

“Kangen”, itu kata yang sering dia katakan padaku, tanpa tahu arti dari kata “kangen” tersebut. Kata yang sebenarnya bermakna indah, jika kita benar-benar merasakannya. Tapi sayangnya, dia tak pernah merasakan seperti apa yang diartikan oleh kata “Kangen” itu. Dia tak pernah kangen pada diriku. Itu hanya sebuah kata yang terucap oleh sebuah bibir. Sebuah kata untuk menarik perhatianku. Seorang perempuan tua. Perempuan tua yang butuh kasih sayang dari lawan jenis. Perempuan tua yang sudah lama tak merasakan cinta. Merasakan cinta dan dicintai. Perempuan tua yang trauma akan kegagalan akan masa lalu.

Dia hanya seorang anak laki-laki yang tidak tahu dan belum tahu apa-apa tentang hidup. Dia hanya mencintai apa yang dia lihat, tapi tak mengerti tentang apa yang dia lihat. Dan aku, hanya seorang perempuan tua yang seperempat abad hidupku, telah kuhabiskan untuk mencari arti ‘hidup’ itu sendiri. Pengalaman adalah guruku, tapi tak banyak aku selalu jatuh pada lubang yang sama. Jadi, pengalaman tak menjamin kita untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, bukan?

Aku menyukainya. Ya, aku menyukai anak laki-laki itu. Anak laki-laki yang selalu mengirimi-ku pesan singkat pada ponsel-ku. ‘Kangen’. Itu yang selalu dia sampaikan pada pesan singkatnya. Pesan yang dikirim kepada perempuan tua yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Yah, mungkin dia sudah pernah melihatku melalui foto yang aku pasang pada salah satu laman jejaring sosial ku. Tapi, tetap saja, aku menganggapnya ‘dia belum pernah bertemu denganku’ atau ‘kami belum pernah bertemu sama sekali’. Pesan singkat yang selalu dikirim setiap hari, terkadang mengangguku, tapi tak jarang membuat ku tertawa-tawa disertai warna merah delima di pipiku. Laiaknya seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Yah, mungkin aku jatuh cinta pada anak laki-laki ini.

Pertanyaannya. Bisakah dua orang yang belum pernah bertemu, merasakan jatuh cinta satu sama lain? Yah, mungkin tidak satu sama lain tapi pada satu pihak saja. Maksudku, yah, bisakah seorang perempuan tua sepertiku bisa merasakan jatuh cinta pada seorang anak laki-laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya?? Atau sebaliknya.

Suatu hari, aku mengetahui bahwa anak laki-laki ini ternyata sudah mempunyai ‘teman’, OK, pacar. Aku tak ambil pusing. Dia hanya seorang anak laki-laki dan aku hanya seorang perempuan tua. Jadi, untuk apa aku harus ambil pusing? Tapi, untuk apa dia mengirimiku pesan singkat yang berisi kata ‘kangen’ tersebut? Seperti yang kubilang di atas, dia tak pernah merasakan apa yang sebenarnya dari kata ‘kangen’ itu. Dia hanya ingin menarik perhatianku. Dia hanya ingin bermain-main.

Hari lain, di pagi hari yang sangat pagi sekali. Hmmm, aku masih ingat jelas waktu itu, jarum jam dindingku mengarah pada pukul 02.30 pagi. Anak laki-laki ini, menanyakan tentang “Mau dibawa kemana hubungan ini?” kepadaku melalui telephone. Dan aku menjawab dengan bingung, “Hmmm, aku tidak tahu… Memangnya mau dibawa kemana hubungan ini??”

“Apa kau mau menjadi pacarku?’. Anak laki-laki itu bertanya dengan singkat dan jelas. Langsung pada intinya, tanpa basa basi. Dan ‘pacar’? Apa di umurku yang sekarang ini aku masih mencari seorang pacar? Oh, tentu tidak. Aku mencari seorang pria, untuk ku jadikan suami. Bukan seorang anak laki-laki yang di pagi buta mengajak seorang perempuan tua untuk menjadi pacar keduanya melalui saluran telephone. Menggelikan.

“Bagaimana dengan pacarmu?” Aku bertanya dengan santai, dan tentu saja aku belum menjawab satu katapun tentang ajakannya untuk menjadi pacarnya.

“Yaaa, jangan sampai ketahuan saja…” Terlalu sederhana untuk sebuah jawaban seseorang yang akan berselingkuh. Standar lah. Ck.. Aku lanjutkan.

“Bagaimana hubunganmu saat ini dengan pacarmu? Apa semuanya berjalan dengan lancar?” Sedikit interogasi. Tunggu, kenapa aku harus perduli tentang hubungannya dengan pacarnya itu?

“Ya begitulah… seperti orang pacaran…” Sejenak aku berpikir, jawaban apa itu?? ‘Ya begitulah, seperti orang pacaran.’. Dasar anak kecil!

“Sudah berapa lama kau berhubungan dengannya?” Lagi. Aku bertanya tentang hubungan mereka. Seakan-akan hasil wawancara ini akan memberikan keputusan ‘Apa aku mau menjadi pacarnya atau tidak.’ Aku seperti sedang memberi pertanyaan angket kepada anak laki-laki ini. Lucu.

“Aku tidak tahu. Aku tidak pernah menghitung sudah berapa lama aku menjalin hubungan dengannya. Dan, kenapa juga aku harus menghitungnya?!” Cuek. Tidak perduli. Itu kesan yang aku dapat dari anak laki-laki ini.

“OK. Setahu ku, dari laman jejaring sosialmu, kau menjalin hubungannya sejak November tahun kemarin. Jadi, kira-kira sudah…” Aku mulai menghitung dengan jariku, tapi aku tak bisa, aku tak bisa berkonsentrasi. “Ya, kau hitung sendirilah…” Aku menyerah. Hitung-menghitung bukanlah keahlianku.

“Tujuh bulan. Maksudku, akan masuk bulan ke tujuh.” Dia menghitungnya.

“Hmmm, sepertinya kau sedang mengalami rasa bosan atau jenuh dalam hubunganmu… Pfufh, tentunya banyak godaan juga disekitarmu? Kembali menjadi laki-laki yang bebas atau merasakan cinta yang lain.” Aku menghela nafas.

“Ya, banyak godaan. Dan kau adalah godaan itu.” Dia tertawa kecil, dan aku tertawa besar. Kaget sekali mendapat jawaban seperti itu. (Menghelas nafas) Wow, seorang anak laki-laki yang berbicara laiaknya orang dewasa. Mungkin dia tidak sepenuhnya anak kecil. Dia sedang mengalami pertumbuhan, pastinya. Dari seorang anak laki-laki menjadi seorang pria.

“Hey, dengarkan aku… Aku tak pernah menggodamu. Kau yang menggodaku lebih dulu. Kau selalu mengirimiku pesan yang berkata ‘kangen’ padahal kau belum pernah bertemu dengan ku sebelumnya. Kemudian, sekali dua kali kau menelponku di malam hari bahkan di pagi hari. Bagaimana mungkin bisa kau merindukan orang yang belum pernah kau lihat? Itu aneh, bagiku. Kau tahu itu?”

Dan anak laki-laki itu hanya tertawa kecil. “Apa kau tidak merasakan apa-apa terhadapku?”

“Apa? Aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu. Tidak merasakan apa-apa, maksudmu?” Aku bertanya. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia tanyakan.

“Maksudku, apa kau tidak merasakan, hmmm.. mungkin, ‘jatuh cinta’ padaku? Atau sebuah perasaan yang lainnya mungkin? Suka? Atau apalah itu?” Sejenak aku berpikir, siapa yang sedang berbicara dengan ku saat ini? Seorang anak kecil atau seorang pria dewasa?

“Apa kau hanya merasakan perasaan ‘biasa-biasa’ saja terhadapku?”

“Hmmm..Bagaimana aku menjawabnya? Okay, akan aku jelaskan. Begini, aku belum pernah bertemu denganmu. Tapi kau selalu mengirimiku pesan ‘kangen’ pada ponselku. Dan kini kau menanyakan perasaanku terhadapmu? Ini aneh. Sekali lagi, aneh. Aku masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin kau bisa berkata ‘kangen’ pada orang yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Kata ‘kangen’ itu akan ada dan akan terucap ketika kau telah bertemu dengan seseorang yang kemudian, orang itu pergi dari hidupmu dalam jangka waktu yang singkat atau panjang. Atau bahkan orang tersebut tidak akan pernah kembali lagi dalam hidupmu. Kau mengerti maksudku? Dan tentang perasaanku terhadapmu… Aku menyukaimu. Ya, aku menyukaimu. Tapi… (aku tertawa kecil) maaf aku masih bingung…aku bahkan belum pernah denganmu…”



“Jadi, apa kau mau jadi pacarku?” Dengan pertanyaan yang sama dia masih tanpa basi-basi.

“Oh Tuhan…” Aku berpikir sepersekian detik. Aku seperti sedang ditawari uang 2 Miliar di depan mata. ‘mau atau tidak?’. Tunggu, mungkin aku terlalu berlebihan untuk menyamakan ajakan anak laki-laki ini menjadi pacarnya dengan uang 2 Miliar. “OK.”

“OK? Apa itu artinya, ‘ya, aku mau jadi pacarmu’ atau ‘ya, kau mau jadi pacarku’?”

“Seperti yang kau pikirkan.” Pasrah sekali aku menjawab.

“Aku mencintai mu! Pfiuh…. Percakapan ini membuatku lapar. Aku mau makan dulu. (dia tertawa senang). Aku mencintai mu!’

Beep. Telephone itu tertutup.

Dan aku…
“Oh Tuhan, apa yang telah ku katakan?? Apa aku telah menjawab ‘YA’ tadi???” Aku menutup muka dengan kedua tanganku.

Ya, begitulah ceritaku dengan anak laki-laki itu. Dan sekarang aku adalah perempuan tua yang sedang berhubungan dengan seorang pria yang umurnya di bawah umurku. Seorang pria yang mempunyai perempuan lain selain diriku. Seorang pria, yang baru satu kali aku bertemu dengannya setelah dua bulan kami menjalin hubungan. Aneh.

Kangen, berasal dari kosakata Jawa. Dalam pembendaharaan kosakata Bahasa Indonesia, kata ini hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kangen, artinya sangat ingin akan bertemu. (Kamus Umum Bahasa Indonesia – 1976)

Tuan Nada

1:05 pm Posted by write over the rainbow


Hai, Tuan Nada. Saya jatuh cinta pada anda.

16 Juni 2010
08:36 PM

Butir-butir Pil Kebahagian Ku....

9:37 am Posted by write over the rainbow

Pfiuh… apa gw boleh bilang, kalo gw ‘agak’ capek, akan segala hal yang udah terjadi pada diri gw satu tahun ini. Yah, dimulai tahun kemarin. 2009. Juni 2009. Tepatnya akhir Juni, akhirnya gw sidang juga. Setelah perjalanan panjang selama 1,5 bulan (bersihnya…) menyusun yang namanya Tugas Akhir. Sebenarnya ada SESUATU yang sangat RAHASIA sekali dibalik penyusunan Tugas Akhir ini. Mungkin, kalau saja HAL ITU tidak terjadi mungkin, dorongan pada diri gw untuk menyelesaikan Tugas Akhir nggak ada sama sekali. Tapi mungkin Tuhan punya rencana lain, jadi gw diberi sedikit SENTILAN ama Tuhan lewat orang lain pada bulan April… yang jelas, gw terima kasih sekali pada dua orang ini. Terima Kasih ya, karena kalian, gw bisa menyelesaikan Tugas Akhir gw. Hehehehe… Pasti penasaran ya?? Hehehe… Oke..oke..oke… Jadi April 2009 itu, SAYAH PATAH HATIH cing!! Nah, untuk bangkit dari keterpurukan PATAH HATIH SAYAH mengerjakan TUGAS AKHIR SAYAH sampai AKHIRNYA SAYAH SIDANG. Untuk moment ini, SAYAH BANGGA dengan DIRIH SAYAH SENDIRIH.

Juli 2009. Untuk pertama kalinya, gw nangis depan sahabat gw, Yuliana M. Rahman a.k.a Na. Hahaha, jarang-jarang bahkan boleh dibilang nggak pernah gw nangis depan orang, meski itu orang terdekat sekalipun. Perbedaan pendapat antara gw ama orang tua gw. Yah, sebenarnya udah biasa kali ya, perbedaan pendapat seperti itu terjadi antara orang tua dengan anak, tapi bagi gw, konflik yang terjadi tahun kemarin, mungkin itu untuk pertama kali dalam hidup gw. Hehehe… bukan maksud apa, tapi karena selama ini, apa pun itu yang diminta oleh si gw ini, selalu dipenuhi ama si ortu gw itu. Nah, tiba permintaan gw saat itu ga dipenuhi ‘agak’ naik darah dikit gw jadinya. Akhirnya ya, gw mengalah dan lalui aja hidup apa adanya dengan sisa waktu yang sedikit sekali. Hehehe… pastinya nggak sendirian, ada orang-orang yang jadi penyemangat gw. Gw sebut mereka sebagai Tim Hura-hura. Tapi yang namanya hidup ga selamanya hura-hurakan??? Tim Hura-hura juga berfungsi sebagai Tong Sampah gw. Hihihi…. Jadi adilkan, gw nggak memanfaatkan mereka… hmmm, agak kasar ya ‘memanfaatkan’ tapi ga papalah, sesuai karakter gw yang agak ‘sedikit’ bringas… hahahaha… Yap, gw nggak hanya memanfaatkan mereka pada saat gw sedang jatuh terpuruk tersungkur apa pun itu, gw juga memanfaatkan mereka ketika gw lagi bahagia, senang, gembira ria. Mari kita sebutkan nama mereka satu per satu (sesuai abjad); Mita Novita Sari , Ni Galih Ajeng Tantri, Vita Desi Purnama, Windu Mahesa Anjani, dan Yuliana M. Rahman.



Waktu yang sedikit, gw manfaatkan sebaik mungkin. Enam bulan. Kalau kita lihat dari kalender, mungkin terasa lama, tapi kalau kita jalani, Enam bulan itu terasa nggak nyampe satu bulan. Selesai sidang, seperti biasa mahasiswa selalu mengikuti ceremonial yang namanya Wisuda-an. Hahaha, sebenarnya waktu gw wisuda, greget gw untuk ikutan acara wisuda udah nggak ada lagi. Yaaaahh, namanya juga telat lulus.. hahaha, tapi ga papalah dari pada ga ikutan sama sekali… hihihi… Habis wisudaan, Puji Tuhan, kerjaan ngalir terus.

Agustus 2009. Jadwal gw (hampir tiap hari) penuh dengan briefing, event dan report even (reporter). Jadi nggak kelihatan banget penganggurannya. Whuahahaha… Bulan-bulan berikutnya diisi dengan kegiatan mencari pekerjaan yang lebih ‘menjanjikan’ dan sambil bekerja sebagai freelancer di P. Comm Event Organizer dan sebagai reporter di Rase 102.3 FM Bandung. Bersama Tim Hura-hura + Tong Sampah mencari pekerjaan, sambil menyokong satu-satunya anggota yang belum lulus kuliah. Karena kesibukannya bekerja dia ‘harus’ sedikiiiiittttt terlambat menyelesaikan kuliahnya, Windu Mahesa Anjani. Yah, sambil mencari pekerjaan dan bekerja, kami menyokongnya dan memberi semangat pada beliau untuk menyelesaikan Tugas Akhirnya. Hahaha… Menemaninya ke kampus dan menemaninya sidang (sudah pasti). November menjadi hari bersejarah baginya, karena akhirnya gelar ‘itu’ berhasil disandangnya. Satu minggu dalam bulan November juga gw manfaatkan untuk menyelesaikan revisi + hard cover Tugas Akhir. Everything’s end with DONE. Untuk moment November ini, gw tepati janji gw kan Ndu… loe wisuda, gw masih stay di Bandung. :P

Enam bulan, waktu yang singkat. Ada senang, ada sedih, ada tawa, ada juga air mata. Semuanya seimbang pada enam bulan itu. Antara kebahagiaan dan kesedihan, mereka seimbang takarannya dalam hidup gw. Waktu yang singkat itu juga gw habiskan bersama seseorang yang entah siapa dia sebenarnya dalam hidup gw. Terlalu rumit untuk dijelaskan, tapi cukup dua kata untuknya. “Terima Kasih, Tenyom.” (entah kenapa setiap cerita bagian dia gw jadi mellow… seperti saat gw nulis ini… sialnya Ryan Cabrera lagi ngamen di kuping gw bawain lagu It’s True. Hey kamu, KEPUTUSAN yang kita ambil pada Oktober 2009, ada baiknya juga bagi kita. :))

Meninggalkan kota yang udah kurang lebih empat tahun gw tinggalin, bukanlah hal yang mudah, dan tak segampang membolak-balikkan telapak tangan. Kalau kata lagu, “Terlalu indah untuk dilupakan, terlalu sedih untuk dikenangkan.” Hehehe… empat tahun bukan waktu yang singkat lho…. Banyak yang terjadi pada empat tahun itu. Perjuangan dan pengorbanan hidup di negeri orang terjadi pada diri gw. Jatuh bangun juga gw alami. (lebay ya??? Hahaha… habis gw susah mendeskripsikannya… :P ) Meninggalkan Bandung sama saja melepaskan karir yang sedang gw jalani, meninggalkan teman-teman yang sudah gw anggap seperti saudara sendiri, bahkan lebih dari saudara. Pokoknya nggak gampang bagi gw untuk meninggalkan Bandung. Terlalu banyak yang indah disana. Gw nggak akan pernah bilang, semua kesialan dan kesedihan yang pernah gw alami disana adalah sebuah ketidakberuntungan, tapi gw akan bilang itu sebuah berkat bagi gw. Semua yang pernah terjadi pada diri gw selama empat tahun di Bandung semuanya adalah INDAH. Baik itu senang, sedih, tawa atau tangis sekalipun.

Tapi apa boleh buat, Tuhan adalah editor dalam hidup gw, walaupun gw berharap ada editor beneran yang mau ngorbitin karya gw…. Amin. Hehehe… Tuhan punya rencana lain dalam hidup gw, dan rencana-Nya adalah ‘menerbangkan’ gw kembali ke kota kelahiran gw pada Desember 2009. Maaf, untuk line ini mungkin agak nyerempet ke agama gw (tapi nggak mendalam banget kok..). Peace. Ya, agak sedikit bertolak belakang dengan orang Kristen adanya. Dimana Desember adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh umat Kristen, gw malah tidak sama sekali rindu akan Desember. Dimana umat Kristen senang meneriakkan, “Desember telah TIBA!!!”, gw malah, “Desember…. Pfufh… Akhirnya datang juga waktu itu…” dengan nada lesu dan mimik muka yang sedih. Bisa dikatakan dengan jujur, NATAL tidak ada dalam diri gw pada 2009. :P Hati gw terlalu abu-abu untuk menikmati hari besar yang bernuansa warna merah, hijau dan putih itu dengan gemerlap bintang emas dan riuh rendah suara lonceng, diikuti kesibukan orang-orang menyiapkan kado natal. Bahkan suara choir gereja pun terasa biasa-biasa saja di telinga. Tak sedikitpun suara gegap gempita itu membuat bulu tengkukku berdiri. Tapi, yaaaa… sekali lagi Tuhan yang memiliki gw, dan gw harus menjalankan apa yang diperintahkan olehnya.

6 Desember 2009, itu hari Minggu. Gw pergi ke gereja. Sendirian. Agak linglung juga sendirian, biasa berdua. #curcol … Hehehe… Terasa asing di gereja itu padahal tiap minggu ikut kebaktian disana. Seperti baru pertama kali datang. Tapi entah kenapa ditengah-tengah kebaktian, tiba-tiba ada yang mengalir di pipi gw. Oh shit. Gw nangis. Rasanya PENGEN BANGET gw teriak dalam gereja “Tenyom, dimanaaaaaaa????? Gw sendirian neh!!!”. Dua jam tahan tangis di gereja, nyiksa banget cing… hahahaha… gw berharap nggak ada yang lihat saat itu, tapi kalau pun dilihat orang, whatever lah… baru kali itu rasanya sepi banget… itu hari minggu terakhir gw ke gereja di Bandung, karena tanggal 12 sampai 13 Desember-nya, gw nggak bisa ke gereja karena punya acara di Gunung bareng teman-teman. (maaf ya Tuhan.. :P)

Tibalah waktunya, 19 Desember 2009, pagi sekali gw bangun, mempersiapkan diri untuk meninggalkan Bandung. Agak lemasssssssssssssssss (masih ‘agak’ ternyata… hahaha… padahal nafsu buat makan aja nggak ada sama sekali…) Rasa malas menggrogoti badan… malas beranjak. Koper siap, tiket pesawat siap. Gw berasa menjadi salah satu finalis kontes nyanyi yang gagal masuk ke babak berikutnya. Whuahahaha… Menggunakan jasa travel ke Bandara, perjalanan rasanya panjaaaaaaaaaaaaaaanggggggg banget… perasaan campur aduk. Sampai Bandara Soekarno – Hatta, ada satu harapan yang ada dalam hati gw, ada perubahan yang diperbuat Tuhan untuk mengembalikan gw ke Bandung. Tapi, sampai kaki gw menyentuh lantai kabin pesawat, sampai safety belt mengekang badan gw, ternyata perubahan itu tidak pernah terjadi. Sampai gw di langit.

Juni 2010. Capek juga menjalani hari, sampai akhirnya tulisan ini dibuat, 20 Juni 2010. Pasang surut emosi gw lalui, mulai dari emosi tinggi, kembali turun, naik lagi, turun lagi, berusaha bertahan, berjuang menghadapi hari. Untuk ini, Tuhan cukup adil sama gw. Dia kasih gw satu sifat yang kata orang sebagian, “Loe beruntung punya sifat ‘itu’. Ajarin gw untuk bisa memiliki sifat ‘itu’“. SABAR. Itu yang Tuhan kasih sama gw. Orang bilang gw beruntung, tapi kalau diri gw sendiri bilangnya gimana?? Beruntung atau tidak?? Hehehe…

Setidaknya, gw bisa bilang, masa kritis sudah lewat, dan sekarang gw sedang masa pemulihan. Masa dimana gw harus menemukan titik yang namanya, SEHAT. Dan untuk itu, gw masih membutuhkan Tim Hura-hura + Tong Sampah, gw masih membutuhkan mereka, butir-butir pil warna-warni yang membantu tubuh ini dalam masa pemulihan. Gw masih membutuhkan Mita Novita Sari, Ni Galih Ajeng Tantri, Windu Mahesa Anjani, Vita Desy Purnama, Yuliana M. Rahman, dan butir-butir pil warna-warni lainnya yang nggak sanggup untuk gw sebutkan namanya bukan karena gw tidak mau, tapi akan lebih baek, jika nama pil-pil itu terukir di hati gw. Karena hati gw adalah tahta bagi mereka. Terima kasih-ku untuk kalian, Pelangi-ku.



20 June 2010;
20: 20 – 23:35 WIB at living room, my house.



P.S :
1. Yang di tag, itu yang ada di hati gw. :p
2. Ada berapa kata ‘tapi’ dalam cerita ini?? Hahaha...
3. Jangan PERNAH mengira kalau gw adalah drugs maniac... hahaha...

Pain-thing with You

12:41 pm Posted by write over the rainbow

Bandung pagi hari. Cerah. Bangun pagi adalah kesukaanku. Ku mulai dengan membuka computer-ku. Menuju Yahoo! Messenger, FaceBook, Twitter, dan beberapa website yang selalu ku buka hanya untuk mencari hal-hal yang menarik.

Satu getar dari instant message ku terima. Ku jawab, “Yaa…”
“Lagi apa?” dia yang di sana bertanya.
“Lagi on-line…” ku jawab dengan pasti, karena toh pada kenyataannya aku sedang on-line. Berada di dunia maya.
Dia di sana memberiku emoticon, “I-)”
Aku bertanya, “Ngantuk??”
“Nggak…” itu jawabannya.
“Terus apa dong??” aku yang di sini bingung melihat jawaban di layar computer ku.
“Nggak ada apa-apa…”
Semakin bingung, “:-? [-( #:-S :D”
“Nggak ada kerjaan ya??”
“Ada…” singkat padat dan jelas, tapi tetap saja aku bingung.

Percakapan di chat box itu berhenti. Aku mulai bingung mau apa. Aku mencari sesuatu yang mengasyikkan, yang dapat mengalihkan perhatiannya, dan sekaligus membuatnya asyik bekerja. Semoga saja. Dan berharap apa yang ku lakukan tidak menganggu jam kerjanya. Aku mulai membuat gambar dari Doodle.

Ku warnai kertas putih pada chat box ku. Bagian bawah kertas itu, setengahnya ku warnai dengan warna coklat, pertanda bahwa itu adalah tanah. Di sudut kiri kertas ku gambar pohon. Setengah dari kertas putih di atas ku tambahi dua buah awan dan beberapa burung, disertai matahari. Aku berhenti di tengah-tengah kertas putih itu. Antara langit dan bumi. Berkali-kali aku berusaha membuat benda mati yang selalu di gunakan orang untuk jadi sandaran mereka ketika lelah atau hanya sekedar untuk melihat-lihat sekitarnya. Bangku taman. Bangku itu selalu tak bisa ku gambar dengan baik.

“Udah jadi???”, dia yang di sana bertanya. Ternyata dia memperhatikan pekerjaanku sejak dari awal pengerjaan gambar ini.



“Udah kayaknya…” aku menjawab lesu, karena aku merasa belum selesai.
“Bingung mau gambar apa.. aku mau gambar bangku tuh di bawah awan.. gambarin dong…”
“Akunya mana??” aku tersenyum kecil dia bertanya seperti itu.
“Yee.. siapa yang mau gambar kamu….PD dehh… hahaha..” aku tertawa sendiri di depan layar computer ku.
“Gambarin bangku taman sih di bawah awan… :(” aku ingin sekali dia ikut serta dalam pengerjaan gambar ini… menemaninya bekerja jarak jauh dengan cara seperti ini sepertinya mengasyikkan, asalkan dia sedang tidak sibuk.
“Ntar kalau kamu dah gambar bangku, baru aku gambar kamu, duduk di bangku itu… :P “ iming-iming yang tidak terlalu memberikan untung yang menarik bukan?!
“Nggak mau…”
“Nulis aja aku susah, kamu malah nyuruh aku gambar…” senyum geli dalam bibir ku terukir membaca responnya.
“Aku nggak bisa gambar bangku…. :(” penambahan sad emoticon itu sukses membuat mouse di kota seberang Bandung sana bergerak cepat menggambar bangku taman. Tapi salah.
“Itu kursi sayang…” aku tertawa melihat hasil karya agung-nya.
“Itu lho bangku taman… yang panjang… “ aku berusaha memberikan ciri-ciri benda mati yang kuinginkan pada gambar itu.
“Iyaaa….” Dia mengerti.
“Ya udah kamu hapus dulu kursinya…” aku langsung melakukan apa yang dia minta. Ku hapus gambar kursi yang telah di buatnya tadi. “Udah tuh…”, lapor ku.
“Gambarnya di bawah awan ya…” pinta ku.
“Ya udah, awannya pinggirin… hahahaha….” Pintanya dengan kocak, bagaimana mungkin aku menggeser awan, tapi tetap ku lakukan. Aku menghapus gambar awan yang sudah dari tadi ku gambar. Kemudian, ku gambar ulang dengan ukuran yang sedikit lebih kecil dari pada gambar yang semula, dengan posisi yang sedikit menjorok ke atas.
“Udah tuh.. hahaha…” entah kenapa kegiatan ini membuatku senang. Padahal beberapa minggu kemarin kami berdua sedang dalam lingkaran hitam permasalahan akan hubungan kami. Pfiuh.
“Gambarnya pake tinta warna hitam ya… “ pinta terakhirku. Kemudian aku memperhatikan kertas putih itu sedikit demi sedikit tergores oleh garis-garis hitam yang membentuk bangku taman. Garis-garis yang di buat oleh tangan pria yang berada di kota tetangga Bandung sana. Gambar jarak jauh. Kehebatan teknologi.
“Sudah tuh…” garis hitam itu berhenti bergerak membentuk diri di tandai dengan laporan sang penggambar.
Kuperhatikan bangku itu. Aku bingung dengan posisi bangku itu, “Itu bangku menghadap kemana???”
“Terserah…. Hahahaha….” Nyeleneh sekali jawabannya tapi aku tertawa.
“Aku perbaiki sedikit ya….” Ijinku.
“Iya… “ katanya.

Kuperbaiki bangku taman itu, selesai. Ku tepati janji ku untuk menggambar orang di bangku itu. Itu dirinya yang sedang duduk di bangku taman menikmati sinar matahari yang cerah.



Dia tertawa melihat hasil gambar seluruhnya. Kerja keras kami berdua. Gambar-ku dan gambar-nya.
“Kamu nggak makan siang??”
Lama aku mendapat jawaban atas pertanyaan sederhanaku itu.
“Aku tadi lagi beli makanan.”

Karmanyca’s Story V; Thank You and Dream

10:53 am Posted by write over the rainbow


Jam di dinding menunjukkan pukul 20.33 WIB, Karmanyca baru saja sampai di rumahnya. Dia baru pulang dari Rumah Sakit Bersalin menjenguk kakak iparnya yang baru saja melahirkan anak pertama. Kedua kakinya lelah menginjak pedal gas mobil. Capek yang tak terkira. Ya, capek yang tak terkira. Baru kemarin dia membawa pergi mobilnya keluar dari perbatasan kota Jogja menuju salah satu kabupaten di kota Jogjakarta untuk menghadiri wisuda seorang teman dan baru sampai di rumahnya, Jogjakarta, sore hari. Hari ini, dia harus membawa mobilnya kembali ke Rumah Sakit Bersalin untuk melihat keponakannya yang baru lahir.

Kaki sebelah kiri Karmanyca banyak terdapat lebam biru karena kelelahan, bukan karena penganiayaan. Hal itu biasa terjadi dirinya ketika merasa sangat kelelahan. Badannya terasa gerah, Karmanyca memutuskan untuk mandi. Jam masih menunjukkan pukul 21.17 WIB tapi mata Karmanyca sudah menyipit mengantuk. Berbaring di tempat tidur sambil membaca teenlit yang dipinjam dari teman semasa SMA dulu, Karmanyca sudah mengantuk yang tak tertahan tapi harus ditahannya, karena dia belum curhat kepada Yang Di Atas sana. Setelah itu, Karmanyca tertidur dengan pulasnya.

Pukul 03.20 WIB tiba-tiba Karmanyca terbangun. Matanya membelalak besar. Mimpi itu benar-benar masih diingatnya dengan jelas. Mimpi dimana Karmanyca dan Edwin di malam terakhir di kamarnya. Di dalam pelukan Edwin, Karmanyca mengucapkan ‘Terima Kasih’.
“Win, makasih ya…”, ditatapnya mata pria yang sedang memeluknya itu.
“Makasih untuk apa Karmanyca??”, bingung dengan ucapan ‘Terima Kasih’ dari Karmanyca karena dia merasa tidak memberikan apa-apa atau surprise apapun pada gadis yang sedang dalam pelukannya ini.
“Terima kasih untuk semuanya… “, Karmanyca tersenyum bahagia lalu mencium Edwin.

Edwin hanya bisa diam menyulam senyum manis tapi dalam hatinya merasa bersalah atas semua yang telah dia berikan pada Karmanyca. Semua kebohongan yang telah dia berikan.

Mimpi itu, Karmanyca tak mengerti apa artinya karena pada kenyataannya, pada malam itu tak sekalipun dirinya mengucapkan rasa ‘Terima Kasih’ pada Edwin atas semua yang dia lalui bersama Edwin. Pahit atau manis. Rasa ‘Terima Kasih’ itu tak pernah Karmanyca layangkan pada Edwin.

suara mu

10:54 am Posted by write over the rainbow

malam itu... aku nggak tahu, apakah harus senang atau sedih, kesal atau marah... yang ku tahu, aku hanya kaget, melihat nomor handphone mu tertera di layar handphone ku...

setelah satu bulan, kita nggak ngobrol, ketawa-ketawa, berantem, ya apapun itu yang selalu kita lakukan dulu... akhirnya aku bisa mendengar suara mu lagi...

perasaan ku campur aduk terhadap kamu...

mungkin aku masih sayang kamu...

Karmanyca's Story IV; Pray

10:19 am Posted by write over the rainbow


Oh, God give me a reason
I’m down on bended knee…

[Boyz II Men – On Bended Knee]

Cermin 150 cm x 50 cm dipenuhi penampakan gadis yang menatap dirinya sendiri di cermin itu. Diletakkan tangannya di tulang selangka, dan menyentuh daerah yang ada di antara tulang selangka dan payudaranya. Benjolan itu terasa semakin besar. Benjolan itu sudah ada sejak dia masih duduk di bangku SMA, tapi tak sekalipun pernah dia memeriksakan diri ke dokter. Takut. Itu hal pertama yang dirasakannya. Tak siap menerima hasil pemeriksaan dokter. Seandainya, seandainya itu adalah Kista yang jinak mungkin dia siap menerima pengobatan dalam bentuk apapun, tapi lain hal jika itu adalah tumor ganas atau kanker. Tak ada kesiapan untuk menerima hasil pemeriksaan bahkan menjalani segala jenis pengobatan.

“Tuhan, sehatkan aku, jauhkan aku dari segala jenis penyakit agar aku dapat selalu berkumpul bersama keluarga-ku. Amin.”, Karmanyca berdoa dalam lamunnya.


Karmanyca kemudian berbaring ke tempat tidurnya. Diambilnya Handphone yang ada di samping tubuhnya, kemudian dia melihat fitur kalender dalam handphone itu. Satu bulan. Sudah satu bulan dia tak berkomunikasi dengan Edwin. Dia menghembuskan nafas panjang. Lelah. Karmanyca berpindah fitur ke Internet Application, dibukanya salah satu account-nya di jejaring sosial. Tak dapat dielakkan, tangannya mengetik nama ‘Edwin Soedrajat’ pada kotak pencarian teman. Dag dig dug dag dig dug yang dirasakannya ketika jejaring sosial itu sedang dalam proses pencarian profile ‘Edwin Soedrajat’. Karmanyca sebenarnya tak ingin melihat profile Edwin, tapi rasa ingin tahunya ternyata lebih besar daripada rasa ketakingintahuannya. Dia ingin tahu apa yang sekarang dilakukan Edwin di pulau sana? Apa yang sedang Edwin rasakan di pulau sana? Apa dan apa, itu lah yang diinginkan Karmanyca saat ini. Profile Edwin telah selesai dalam pencarian. Status update Edwin saat itu; I know I'll see you again whether far or soon but I need you to know, that I care and I miss you.... Membaca kalimat itu, sesak dirasa Karmanyca. Dia tahu, kalimat itu bukan untuk dirinya, tapi untuk perempuan lain. Dia merasakan amarah bercampur jadi satu bersama cemburu tapi tentu saja takaran amarah lebih banyak. Rasa benci yang dia layangkan pada Edwin seminggu yang lalu berubah status menjadi dendam. Dendam.

“You’ll never find someone like me. The person who hurt you, people who disrupt your life, people who make you angry and feel so annoyed… You’ll miss me.”


Kalimat itu tiba-tiba berputar di kepala Karmanyca. Edwin mengirim pesan itu kepada Karmanyca, ketika mereka masih bersama. Satu pesan yang begitu percaya dirinya seorang Edwin, tapi dibenarkan oleh Karmanyca. Edwinlah yang selalu bisa membuat Karmanyca dipenuhi rasa amarah, Edwinlah yang selalu mengganggu kehidupan Karmanyca, dan Edwin jugalah yang selalu membuat Karmanyca sakit hati tapi Edwin juga yang bisa membuat Karmanyca begitu merindukan musuh sekaligus cintanya itu, Edwin Soedrajat. Sekarang, rasa rindu itu berganti rasa dengan dendam. Begitu besar rasa dendam Karmanyca kepada Edwin sehingga ingin sekali Karmanyca menampar pipi Edwin jika ada di hadapannya.

“Tuhan, aku tahu Kau tak pernah mengajarkan dan mengijijnkan aku untuk mendendam pada anak-anak-Mu yang lain. Tuhan, selimuti dendamku ini dengan kasih-Mu agar aku dapat mengasihi anak-Mu, Edwin Soedrajat. Amin.”, Karmanyca berdoa dalam dendamnya.

Karmanyca's Story III; Unsent Letter from Karmanyca

2:59 pm Posted by write over the rainbow

Dear Edwin,
Gimana hari-hari kamu? Moga baik-baik aja seperti hariku. Semoga kamu sehat ya disana. Sekarang aku lagi di Bandung loh… aku baru nyampe kemarin. Sayang ya, sekarang kamu udah nggak tinggal di Jakarta lagi malah pindah kerja ke Bali, padahal kalau kamu ada di Jakarta kamu bisa meluangkan waktu kamu untuk aku sebentar di Bandung. Ya hitung-hitung kamu refreshing dari hiruk pikuk kota Jakarta. Sebenarnya aku bingung, aku mau ngapain di Bandung, tiba-tiba aja aku pengen ke Bandung, jadi datanglah aku. Mungkin karena nggak ada kamu kali ya, makanya aku bingung. Hehehe… padahal tempat yang mau dikunjungi di Kota Bandung kan banyak, sebanyak di Jogja. Huft! Bosan di kosan Sari, aku pergi ke Ciwalk, tempat kita biasa nonton film di bioskop. Ciwalk serame itu tapi bisa serasa sepi loh nggak ada kamunya. Kayaknya iklan rokok: Nggak ada lo, nggak rame. Hahaha… Jalan sendirian di Broadway, terus melihat ke lantai dua Gokana Teppan tempat kita makan Mie Ramen, aku jadi senyum-senyum sendiri.

Aku juga ngelewati Zoe Comic Corner tempat kamu biasa baca komik ama majalah. Aku jadi ingat waktu aku nemeni kamu baca majalah. Kamu kalau udah baca buku jadi lupa segalanya, bahkan lupa sama aku yang duduk di hadapan kamu. Hehehe… dasar autis… kalau malam udah tiba terus ngelewati R.S Boromeus aku jadi ingat waktu kita makan Bebek Boromeus. Ngelewati jalan Cilaki, aku jadi ingat waktu kita makan cumi, yang setelah itu bisa bikin aku radang tenggorokan ampe seminggu lebih, dan kamu merasa bersalah karena itu. Hahaha… dan ternyata setiap setelah kita makan cumi aku selalu radang tenggorokan, dan setelah itu kamu selalu menolak makan cumi karena takut aku kena radang tenggorokan lagi. Oh, iya waktu di rumah aku masak cumi, aku makan, aku nggak kena radang tenggorokan dong… :D Aku pergi makan malam ke The Kiosk, di meja yang sama aku pesan soto ayam yang kita makan dulu. Rasanya tetap sama, bedanya aku makan sendirian. Sepi banget Win rasanya… Turun dari The Kiosk ngelewati Hanamasa, aku ingat pertama kali banget kita jalan. Kamu selalu nagih traktiran ulang tahun ku ke Hanamasa, bahkan ketika aku pulang ke Jogja kamu juga masih nagih via Facebook. Akhirnya setelah aku balik ke Bandung, baru kita makan ke Hanamasa dan ternyata kita waiting list, padahal kita udah lapar banget, dan setelah makan kita ketawa-tawa karena engap-engapan nafasnya, saking kebanyakan makan.

Aku ke kosanku yang dulu dan melihat kamarku, kamar yang penuh dengan kenangan-kenangan indah dan pahit bersama kamu. Kamar itu sudah di tempati orang lain. Hihihihi… ada sedikit rasa tidak rela, kamar itu menjadi milik orang lain. Hehehe…
Aku pergi ke gereja. Jemaatnya banyak, tapi rasanya sepi banget. Aku berasa asing di gereja itu. Seperti baru pertama kali datang ke gereja. Aku berdoa, semoga kamu selalu sehat, dan selalu dalam perlindungan-Nya dan seringkali aku menangis kalau udah berdoa buat kamu, Win.

Pfiuh… semuanya terasa indah, Win… Hampir sempurna! Almost! Kalau saja kamu tidak mengambil keputusan itu, begitu juga aku, yang kembali mengambil keputusan atas hubungan kita.

Kamu tahu, selama ini aku selalu tutup mata tentang apa yang dikatakan orang, tentang apa yang dinasehatkan orang kepadaku atas kamu. Mereka bilang, kamu ini, kamu itu, dan mereka bilang seharusnya aku begini, aku begitu, aku tahu semua tentang kamu, Win tapi aku tutup mata. Aku nggak tahu, seberapa besar rasa sayang ku, rasa cintaku ke kamu, sampai aku bisa seperti ini. Aku berubah begitu bahagia jika kamu ada di samping ku. Aku bisa lupa diri, aku bisa lupa semuanya karena kamu. Siapa kamu sebenarnya Edwin? Sihir apa yang kamu pakai untuk menaklukan aku yang mempunyai sifat sekeras ini, bisa selembut itu ketika bersama kamu. Baru kamu yang bisa bikin aku seperti ini.

Aku nggak pernah merasakan apa yang aku rasakan terhadap kamu sebelumnya. Aku nggak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Aku nggak pernah bertemu makhluk seindah kamu sebelumnya. Kamu, baru kamu yang bisa bikin aku sebahagia itu dan kamu anugerah terindah yang pernah aku miliki.

Tapi ternyata anugerah itupun tak selamanya indah, Win. Tak seindah kebersamaan kita yang menurutku itu hanya mimpi ku belaka. Kamu yang tak mau berkomitmen dengan ku karena alasan yang kamu buat-buat padahal sebenarnya aku tahu alasan sebenarnya, karena ada perempuan lain. Dan sekarang kamu harus tahu, Edwin ku sayang… aku harus move on… hubungan kita harus benar-benar berakhir… jangan pernah hubungi aku lagi. Biarkan aku hidup tenang, tanpa harus ada embel-embel kamu di belakangnya.

Terima kasih untuk semua kenangan indah yang udah kamu kasih ke aku. Terima kasih karena kamu udah buat hidup aku berwarna seperti pelangi, terima kasih untuk semua pelukan kamu, untuk semua tawa dan tangis… makasih… karena kamu sudah memberikan kebahagiaan buat aku, walau cuma sebentar.

Karmanyca.

Karmanyca’s Story 2: If I Knew Then.

3:48 pm Posted by write over the rainbow

Malam itu telah larut, bahkan pagi menunggu gilirannya.
“Kamu sudah tidur??”, Karmanyca mendapat SMS dari Edwin, pria yang entah siapa dia sebenarnya didiri Karmanyca. Pacar bukan, bukan juga teman. Tapi hubungan ini seperti permen Nano-Nano, ada asam, ada asin, ada manis. It’s a complicated relationship that she ever done.

Karmanyca menerima SMS dengan mata setengah terbuka, dilihat jam weaker pada meja kerjanya, pukul setengah dua pagi. Setengah dua pagi dan Karmanyca sudah tidur sejak pukul sepuluh malam, tapi dia tetap membalas SMS Edwin.
“Aku belum tidur… Kenapa?? Kamu dimana? Masih di Club?”, white lie demi Edwin tak apa pikirnya.
“Aku mau pulang, kamu bukain gerbang yaa…”
“Iya… hati-hati di jalan ya…”

Pukul 8 malam, Edwin pamit pergi ke Club bersama Daniel teman kuliahnya dulu, dan Karmanyca berpikir Edwin tak kan pulang ke rumahnya tapi menginap di rumah Daniel. Perkiraan yang salah pikir Karmanyca, ternyata Edwin pulang ke rumahnya.

30 menit kemudian Edwin sampai di rumah Karmanyca. Memasuki kamar gadis itu, Edwin mengganti kemeja dan jeansnya dengan baju tidur kemudian membaringkan diri di samping Karmanyca. Karmanyca memeluk erat Edwin, tak tahu kenapa malam itu dia sangat merindukan Edwin padahal seharian tadi Edwin bersama dirinya mengelilingi seluruh factory outlet di kota Bandung, mencari kemeja kerja untuk Edwin. Edwin pun memeluk gadis yang terbaring disebelahnya dengan erat. Pelukan itu terasa beda di diri Karmanyca, apakah karena malam itu adalah malam terakhir bagi mereka? Atau mungkin, karena hubungan ini sudah berakhir sejak seminggu kemarin.

Karmanyca ingat sekali malam itu, adalah hari Kamis. Edwin menelponnya pada pukul 6 sore, ketika Karmanyca sedang dalam tugas reportase di Lucky Square Bandung. Edwin menelpon Karmanyca karena sudah dua hari Karmanyca tidak memberi kabar pada dirinya.
“Kemana aja kamu? Dua hari nggak kasih kabar, di SMS nggak pernah di balas…”, tanya Edwin kesal.
Di ujung telepon, Karmanyca tersenyum manis dan geli menerima celotehan Edwin, “Aku nggak ada pulsa… makanya nggak ngasih kabar…”, berbohong untuk yang kesekian kali, beribu-ribu pulsa di handphone Karmanyca, tapi entah kenapa memang dua hari itu dia sengaja tidak menghubungi Edwin dengan alasan yang tidak jelas pula.
“Biasanya kalau kamu nggak ada pulsa, kamu pinjam nomor orang cuma untuk ngasih tahu kalau kamu lagi nggak ada pulsa… kenapa sekarang nggak??”
“O..o... bohong yang salah… aku harus jawab apa ini??”, Karmanyca membatin bingung. “Ya, aku nggak enaklah pinjam pulsa orang mulu.. kamu kenapa seh?? Baru dua hari juga aku nggak ada kabar udah blingsatan gini…”
“Bukan gitu, tapi ya nggak biasanya aja… sejak kapan kamu nggak balas SMS aku, nggak pernah. Kalau emang kamu nggak ada pulsa, biasanya kamu selalu pinjam nomor orang cuma untuk ngasih tahu kalau kamu lagi nggak ada pulsa. Kok sekarang tiba-tiba hilang, kamu tuh kebiasaan tahu suka hilang tanpa alasan yang nggak jelas terus besoknya tiba-tiba muncul kayak nggak ada rasa bersalah udah nggak ngasih kabar, udah nyuekin aku… Kamu lagi ngapain??”, Edwin terus berceloteh seperti ibu-ibu yang memarahi anak gadisnya yang pulang lewat jam malam.
“Iya udah, aku minta maaf, lain kali aku nggak bakalan ngelakuin hal kayak gini lagi. Aku pasti kasih kabar, dan kalau aku emang nggak ada pulsa aku pasti ngasih tahu… Aku lagi reportase sekarang…”, berusaha meredakan emosi Edwin.
“Reportase dimana? Kamu pulang jam berapa nanti?”
“Aku reportase di Lucky Square. Nanti aku pulang pukul tujuh, mungkin nyampe rumah pukul delapan, ntar aku pulang pake OB-Van kok…” Karmanyca dengan sabar menjawab semua pertanyaan Edwin satu demi satu.
“Ya udah ntar malam aku telpon lagi… hati-hati pulangnya…”. Karmanyca tidak tahu kalau malam ini adalah malam dimana Edwin akan memberi keputusan secara sepihak atas hubungan mereka.

Edwin memenuhi janjinya akan menelpon Karmanyca pada pukul sebelas malam. Setelah dua jam Edwin menelpon, Karmanyca bingung dengan sikap Edwin, tidak biasanya dia betah berbicara via telepon selama dua jam lebih, dan ini sudah waktunya tidur.
“Kamu nggak ngantuk??”, tanya Karmanyca.
“Nggak, kamu udah ngantuk ya??”, Edwin berbalik tanya.
“Nggak, aku belum ngantuk. Tumben kamu betah nelpon dua jam lebih?”, masih bingung dengan sikap Edwin.
“Nggak boleh aku nelpon kamu lebih dari dua jam?? Kalau nggak boleh, biar aku tutup teleponnya…”, Edwin menjawab dengan santai.
“Nggak, boleh aja kamu nelpon… tapi kan kamu pernah bilang sama aku kalau kamu nggak suka nelpon atau terima telpon lama-lama…”
“Aku pengen ngobrol lama aja dengan kamu, udah lama kita nggak ngobrol kayak gini..” Karmanyca semakin bingung, dirinya merasakan sesuatu yang aneh akan terjadi.
“Kita kan selalu SMS-an, tiap malam kalau mau tidur pasti telpon-telponan, emang nggak cukup ya?? Hehehehe…” berusaha menggali jawaban yang tepat dari Edwin.
“Nggak cukup. Lagian kita udah lama nggak ketemu juga, aku kan kangen sama kamu…” Edwin kembali ke wujud semula, Karmanyca lega, akhirnya gombalannya muncul kembali.
“Hahahaha…kita baru nggak ketemu 17 hari sejak kamu balik ke Jakarta, sayang. It’s that a long time for you?? I miss you too… Hahaha…” itu Edwin yang sebenarnya, Edwin-ku, Karmanyca tersenyum di balik handphonenya. Edwin yang suka memberikan dirinya gombalan-gombalan yang bisa membuatnya geleng-geleng kepala, tertawa geli dan tersipu-sipu malu.

Tiga jam, empat jam, obrolan itu semakin asyik dan pagi sudah menjemput. Sinar matahari dua jam lagi mulai bangun dari tidurnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi dan ini sudah jam ke-lima Edwin dan Karmanyca mengobrol via telephone, tiba-tiba Edwin mengajukan pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Karmanyca. “Inikah firasat buruk yang aku rasakan sejak tadi?!” gugup mendapat pertanyaan seperti itu dari Edwin.
“Karmanyca, kamu sayang sama aku??”, inilah pertanyaan yang sejak lima jam yang lalu ingin Edwin ajukan pada Karmanyca. Pertanyaan inilah yang menjadi tujuan utama Edwin menelphone Karmanyca selama lima jam. Edwin harus melakukan dan mengajukan pertanyaan ini, pikirnya, demi hubungan yang “tak tentu” arah ini.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa ini tujuan kamu nelpon aku berjam-jam sampai subuh? Kenapa nggak dari tadi kalau kamu hanya ingin bertanya “apakah aku sayang kamu?” ? Aku rasa, tanpa aku jawab, kamu pasti tahu jawabannya”, perasaannya campur aduk.
“Aku nggak pernah tahu perasaan kamu, makanya aku nanya sama kamu, kamu sayang aku, Karmanyca?”, kembali mengajukan pertanyaan yang sama.
“Edwin, aku sayang kamu.”, Karmanyca menjawab dengan pasti.
“Aku yakin kamu pasti tahu, kalau aku sayang sama kamu…”
“Aku… Aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini Karmanyca…”, suara Edwin terhenti, dan bergema di telinga Karmanyca. Pernyataan Edwin itu seperti petir di siang bolong bagi Karmanyca.
“Kenapa?”, tanya Karmanyca halus, berusaha menutupi kesedihan, isak tangis yang di tahannya.
“Aku nggak bisa menjalani hubungi jarak jauh. Apalagi kamu mau pulang ke Jogjakarta. Aku nggak yakin bisa menjalani hubungi seperti itu. Aku nggak yakin sama diri aku.” Edwin berusaha memberi penjelasan yang bisa diterima Karmanyca.
“Apa bedanya Bandung- Jakarta dengan Jakarta – Jogjakarta, Win??”
“Jadi, yang selama ini kita jalani apa, Win??” Karmanyca berusaha mengendalikan dirinya, tapi rasa sayangnya terhadap Edwin tak terbendung lagi, dia tidak mau kehilangan Edwin.
“Karmanyca, aku sayang kamu. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak yakin dengan diri aku sendiri. Kamu tahu aku memiliki banyak teman wanita, apa kamu tahan mendengar dan melihat aku jalan dengan perempuan lain. Kamu orangnya cemburuan Karmanyca, kamu tahu itu. Kamu orang yang terlalu cepat berburuk sangka, apa kamu mau setiap hari merasakan perasaan seperti itu? Setiap hari selalu cemburu dan berburuk sangka terhadap aku?? Aku tahu, kamu pasti setia, tapi aku nggak yakin dengan kesetiaan aku terhadap kamu.” Karmanyca merasa hari ini adalah hari sialnya. Lelah seharian reportase, belum tidur, dan harus ke kantor pukul delapan pagi untuk menulis laporan, kemudian pukul dua siang harus menghadiri konferensi pers di sebuah rumah makan Sumatra di kota Bandung, berlanjut reportase pukul tiga sore. Penjelasan Edwin atas hubungan mereka seperti tabuh genderang suku Aztec yang akan memulai ritual penyembahan berhala. Detak jantungnya seperti habis melakukan lari Sprint yang selalu Karmanyca lakukan semasa SMP dulu. Karmanyca terdiam mendengar semua penjelasan Edwin. Dia yakin suatu saat moment seperti ini akan tiba, tapi dia tidak pernah mengira kalau moment seperti ini akan tiba di subuh Hari Jumat.
“Karmanyca? Kamu masih di situ?”, Edwin sadar dia sudah kehilangan Karmanyca di balik telephone.
“Iya, aku masih di sini. Terus, kamu maunya kita bagaimana sekarang?”,
“Aku, aku mau kita berteman saja.”
“Bukannya, selama ini kita juga sudah berteman, Win?”
“Maksudku, kita berteman seperti laiaknya teman.” Edwin menutupi kegugupannya. Dia merasakan boomerang yang dilemparnya kembali ke tangannya tanpa melukai sang lawan.
“Hmmm… baiklah. Jadi, kita sekarang teman?? Hehehe… “ Karmanyca semakin terpuruk dengan perkataannya sendiri.
“Iya… hehehe… hmmm… Karmanyca, aku harap kamu nggak berubah setelah ini. Aku mau kamu tetap menjadi Karmanyca yang kemarin-kemarin… mau kan??” Edwin bingung dengan apa yang dia ucapkan.
“Bodoh, mana mungkin bisa aku tidak berubah. Aku pasti berubah. Aku butuh waktu, Win.” Bisik hati Karmanyca. “Iya, aku nggak akan berubah.” Kembali untuk yang kesekian kalinya dia membohongi Edwin.
“Kamu janji??”
“Aku janji.” Mengikuti semua yang diminta Edwin. Berusaha berdamai dengan keadaan.
“Hmmm… Karmanyca, aku tidur yaa… kamu juga nanti mau ke kantor kan?? Ntar kamu ngantuk lagi di kantor… hehehe…”
“Iya, nanti aku mau ke kantor tapi kayaknya aku nggak tidur lagi. Tanggung. Ini juga sudah pukul lima pagi, ntar yang ada aku ketiduran. Ya udah, kamu tidur aja duluan gih…”
“Ya udah, aku tidur duluan ya… Miss you Karmanyca…”
Miss you too, Win…”



Obrolan itu berhenti tepat pukul lima pagi. Karmanyca memang tidak tidur, tepatnya tidak bisa tidur. Semua kejadian, peristiwa, moment yang dia lewati bersama Edwin, berputar di kepalanya bagai slide show. Bagaimana bisa berakhir seperti ini?

Dalam pelukan Edwin, Karmanyca merasakan ketenangan yang bersatu dengan beribu-ribu tanda tanya. Persahabatan seperti inikah yang ditawarkan Edwin kepadanya?
“Kamu tadi minum berapa botol??”, tanya Karmanyca yang mencium bau alcohol dari mulut Edwin.
“Hmmm… masih mau bau alcohol ya? Nggak ampe minum berapa botol, aku cuma minum dua slooky kok…” Edwin menjawab sambil tersenyum kembali memeluk erat Karmanyca.

Mereka terdiam dalam pelukan. Lama sekali.

Ditatapnya Edwin yang belum menutup mata.
“Kok belum tidur? Ada apa?” tanya Karmanyca dalam pelukan Edwin.
“Hmmm.. Nggak ada apa-apa…” jawab Edwin menatap gadis yang ada dalam pelukannya sekarang. Edwin menyembunyikan sesuatu dari Karmanyca dan gadis itu bisa merasakan hal itu. Mereka terdiam dalam pikiran mereka masing-masing.

“Bagaimana kelanjutan hubungan ini? Oh Tuhan, kami melakukan apa yang seharusnya tidak kami lakukan. Apa yang sedang kamu pikirkan, Edwin?? Beri tahu aku… Oh Tuhan, apa yang seharusnya ku lakukan?”. Karmanyca.

“Oh Tuhan, apa yang telah ku lakukan… Aku telah menyakiti Karmanyca, Aku telah membohonginya selama ini… Aku menyayanginya tapi tidak seperti ini caranya… Karmanyca, apa yang akan kamu pikirkan tentang aku jika kamu tahu semua kebohongan yang telah aku lakukan? Haruskah aku memberi tahu mu? Oh Tuhan, apa yang seharusnya ku lakukan?”. Edwin.

Edwin mencium Karmanyca, tapi ciuman itu terasa beda bagi Karmanyca. Ciuman yang mengatakan, “Aku menyayangi mu, tapi maaf… “
Ada “maaf” pada ciuman itu. Ada rasa “bersalah” pada ciuman itu.
Lelah dengan begitu banyak pemikiran di kepala mereka, akhirnya mereka tertidur. Mereka tidak tahu, begitu banyak hal yang akan mereka alami di kemudian hari setelah malam ini.

“Tuhan, jadikanlah semua ini sesuai kehendak-Mu bukan kehendak ku”, Karmanyca berdoa dalam tidurnya.

Menjadi Perempuan Selingkuhan itu Pilihan

1:54 pm Posted by write over the rainbow

“Aku hanya heran, dari mana kamu dapat ide cerita seperti itu?”
“Ide cerita ini aku dapat, ketika kita tidur bersama kemudian di pagi harinya kamu mendapat telephone dari perempuan lain.”
“Kok bisa??”
“Aku hanya merasa seperti perempuan selingkuhan…”
”Sejak kapan kamu jadi selingkuhan ku??”
“Aku tidak bilang “Aku selingkuhan mu… Lagipula jika aku adalah perempuan selingkuhan, apakah laki-lakinya harus kamu??”

Adam dan Hawa.

Menjadi perempuan selingkuhan bukan keinginan setiap perempuan di bumi ini, tapi ini merupakan pilihan bagi mereka. Mereka harus memilih, tetap bersama pria yang mereka cintai walaupun menjadi selingkuhan atau melepaskan pria yang mereka cintai dengan ikhlas bersama perempuan yang sudah sah menurut AGAMA ataupun NEGARA.

[mono] “Jika suatu saat Tuhan memberi pilihan pada mereka atau bahkan padaku {suatu saat nanti};
“Mau jadi selingkuhannya atau tidak?? Semua kuserahkan padamu, aku hanya memberi jalan pada mu untuk tetap bersamanya??” (Kita tahu Tuhan tidak sejahat itu pada umatnya, itu hanya sebuah pengandaian belaka.)
Mungkin Aku bersama perempuan [yang akan menjadi selingkuhan] akan menjawab “Iya aku mau menjadi selingkuhannya. Ini kami lakukan demi laki-laki yang kami cintai. “
[berusaha untuk tidak menjadi perempuan yang munafik]

Kembali lagi ke awal, ini bukan kemauan mereka tapi pilihan mereka. Tidak ada yang memaksa.

Menempatkan diri sebagai perempuan selingkuhan ternyata sakit juga [pikirku], tapi mungkin, bukan “sakit juga”, tapi bisa “sakit banget”… Ya, keterbatasan yang mereka miliki untuk menjadi pemegang “Hak Milik” dari laki-laki yang mereka cintai membuat mereka menjadi bagian dari manusia yang “HURA HURA GALAU” [itu kata anak anak ABG jaman sekarang]. Hehehe…

Mereka menikmati keadaan mereka yang berstatus “selingkuhan” [apa ya kerennya… hmmm.. “She's like available but not available at all" atau TTM [sekali lagi kata anak anak ABG]… Teman Tapi Mesra.. Teman, tapi kok rasanya mesra mampus amat ya??? Amat aja nggak ampe mampus mesranya. Hehehe….” [seperti kata lagu “Selingkuh itu Indah”]. Di sisi lain dari ke HURA HURA an mereka, mereka GALAU, mereka berpikir, mereka meratapi nasib, “Sampai kapan harus seperti ini??” [menyedihkan, bukan?]

Memikirkan dan membayangkan betapa sakit hatinya menjadi perempuan – perempuan selingkuhan, tidur bersama laki-laki yang mereka cintai, kemudian di pagi harinya, laki-laki itu mendapat telephone dari sang istri yang bertanya,

“Pa, lagi dimana?? kok nggak pulang-pulang??!!”
Dan sang lelaki [suami] menjawab, “Di kantor Ma, Papa lembur… lagi banyak kerjaan…”

Itu percakapan dalam konteks hubungan pernikahan, bagaimana dengan hubungan pacaran?? Mungkin akan seperti ini jadinya…

“Sayang, kamu dimana??? Kok dari tadi malam hape kamu nggak bisa di hubungi….”
Dan sang lelaki [pacar] menjawab, “Aku di rumah sayang, aku capek banget tadi malam, jadi nggak sempat ngasih kabar ke kamu…”

Di kantor?? Di rumah?? Ya di kantor, tapi kantor yang tidak ada meja kerja nya. Di rumah. Memang di rumah tapi bukan rumah sendiri. Laki-laki.

Apa kaum laki-laki tidak capek, terus terusan berbohong???

Hmmm… kemarin aku sedikit tertawa mendengar ada seorang laki-laki berbohong di telephone. Dia menjawab “Di rumah…”. Tapi kebohongannya juga membuat kening ku mengernyit karena pada kenyataan dia tidak di rumah, tapi “Di rumah”… begitu susah kah menyebutkan dimana mereka sebenarnya berada? Toh kalo mereka menjawab jujur tidak ada salahnya, kecuali perempuan mereka memang benar-benar mempunyai sifat KECURIGAAN dan KECEMBURUAN yang TINGGI, mungkin akan beda ceritanya. Mau di jawab seberapa jujurnya sampai jungkir balik pun kalau mereka tidak percaya, ya tidak percaya. Perempuan.

“Cerita tentang apa yang akan kamu tulis??”
“Tentang Pangeran yang punya 1001 Putri tapi cuma Putri yang ke-1001 yang menerima dengan ikhlas keadaan Pangeran yang mempunyai 1001 Putri termasuk dia.”
“Hubungannya Perempuan Selingkuhan dengan Putri Pangeran??”
“Hubungannya, Perempuan Selingkuhan: bahasanya di perhalus dan sedikit di tinggikan derajatnya menjadi seorang Putri. Kenapa???”.



by Enriany Rosianna

Karmanyca's Story I; AIR MATA, SERIBU KALIMAT SASTRA.

10:11 am Posted by write over the rainbow

Karma. Namanya Karmanyca. Malam itu, ingin sekali kakinya melangkah jauh dari lantai rumah. Diambilnya kunci mobil, lalu mobil hitam itu pelan-pelan keluar dari garasi tapi “Braakk!!”, sebuah bunyi retakan terdengar keras hingga ke dalam mobil.
“Apa itu??!”, tanyanya panik.

Matanya beralih ke arah kiri, dilihatnya kaca spion kiri sudah tak berbentuk.

“Sial”, makinya dalam hati.
“Maaf Hitam, bukan maksudku menabrakanmu, tapi apa daya, pikiranku sedang di alam lain.”.

Kembali mengeluarkan si Hitam dengan hati-hati, hingga ke tengah jalan raya.

“Sekarang si Hitam dan si Putih punya nasib yang sama. Hitam di sebelah kiri, Putih di sebelah kanan. Huft, dua mobil ku tersayang, telinga kalian tidak ada yang beres sekarang. Hehehe…”, dia tertawa geli mengingat kondisi kaca spion kedua mobilnya.

Di depannya berdiri satu deret rak buku. Beratus-ratus buku terpajang di rak itu dengan judul-judul yang indah. Kenapa judul-judul itu begitu indah? Dari mana judul-judul itu datang? Terpampang sederet nama-nama yang pernah dia dengar sampai nama-nama yang tak pernah dia kenal sebelumnya, bahkan bertemu sekalipun tak pernah.
Dengan cover yang eye catching, warna-warna halus, warna-warna berani, hingga warna-warna gelap, bahkan warna-warna gradasi pun ikut andil dalam parade warna cover buku-buku itu. Seperti Pelangi. P E L A N G I.

Berdiri di depan rak buku, yang hanya berjarak 30 centimeter dari ujung jari kakinya, seperti menonton film romantis. Senyum-senyum kecil manis terukir di wajahnya. Sudah lama dia tak melihat buku-buku seperti itu. Dilihatnya papan palang nama rak buku itu, “Novel Sastra”. Memori otaknya berputar pada masa lima tahun yang lalu. Novel sastra pertama yang dia baca berjudul “Para Priyayi” karangan Umar Kayam. Novel sastra pertama yang juga mengantar dan membawanya mencintai sastra, walaupun dia tak begitu paham akan “SASTRA” itu sendiri. Setelah itu, berderet judul novel sastra telah dibacanya sampai pada akhirnya, datang sebuah kesempatan untuknya membeli sebuah buku kecil berwarna abu-abu bergaris hitam, ungu, hijau, merah kembali hitam dengan silhouette wajah sang penyair. Buku kecil itu lahir dari tangan seorang sutradara terNAMA. Buku itu diberi nama “Aku”, Sjuman Djaya – berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar.
Dia mulai mengingat isi dari buku kecil itu:

“Yang ini bagus sekali. Kedengarannya enak. Tapi Siti bukan dara lagi, ‘kan, Bang. Abang tau, Siti diketawain anak-anak di sini, waktu bilang, Abang seorang tukang sa’ir! Mereka tanya: ‘Apaan itu tukang sa’ir? Namanya siapa dia? Bapaknya siapa?’ Siapa sih nama Abang? Boleh tau, ‘kan?”

Dan lelaki itu seenaknya menjawab:
“Boleh! Namaku… AKU!”
“Aku? kok ‘Aku’, sih? Terus nama bapaknya siapa?"
“Atang!”
“Lho, si Atang yang tinggal di Kalipasir itu?”
“Ah, bukan, dia tinggal di Medan!”
“Jadi lengkapnya nama itu, Aku… bin… Atang’!”

Marsiti jadi pelan-pelan mengulanginya:
“Aku bin Atang” ?


Kembali ke lima tahun yang sekarang.
Kembali berdiri di depan rak “Novel Sastra”.

Seorang pria berkulit putih menghampirinya. “Jaman sekarang masih baca novel. Sastra lagi….” berkomentar dengan nada sinis.
Dia bingung mendengar komentar pria itu, bertanya dalam hati, “Apa maksud mu dengan ‘Sastra lagi…’”. Dipandangnya pria itu. Pria itu dikenalnya. Teman SMA-nya.

“Ternyata kamu tak berubah dari dulu. Dasar kutu buku. Apa sastra atau tulisan masih menjadi sarana tumpah ruah kalimatmu?”

“Masih, tapi sekarang aku sedang kehilangan inspirasi ku.” Tersenyum manis kepada pria itu tapi serasa miris mengucapkan kalimat itu. “Kehilangan inspirasi” [?].

“Kalau begitu, kenapa dulu kamu lebih memilih untuk masuk ke kelas IPA bukan kelas Bahasa?”

“Aku menyukai alam seperti aku menyukai sastra. Seorang ilmuwan boleh saja menggunakan mikroskop, pipet, tabung silinder, dan berteman dengan bakteri atau virus atau epidermis dari setiap jenis kulit atau molekul-molekul atom dengan berbagai macam rumus, tapi mereka tetap butuh “kata-kata indah” untuk menyampaikan hasil penelitian mereka. Apa kamu tidak sadar, banyak ilmuwan yang telah melahirkan kata-kata indah, hmmm.. disebut quotes, yang sampai sekarang masih dipakai, walau kata-kata itu sudah berumur puluhan tahun bahkan ratusan tahun.

'Generation to come will scarce believe that such a one as this, ever in flesh and blood walked up on this earth. Albert Einstein to Mahatma Gandhi.'
”, berucap dengan percaya diri.

I’m enough of an artist to draw freely upon my important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world. Albert Einstein.
Pfiuh, hehehe… -sela- kalau begitu aku pergi dulu ke rak Psikologi.” Pria itu menepuk bahu Karma sebelah kanan, lalu pergi.

Karma berbalik badan kemudian berteriak kepada pria yang berjalan menjauhinya, “Kenapa ke rak Psikologi, kamu kan anak Arsitektur, apa jiwa mu sedang terganggu??”.

“Mencari ketenangan jiwa yang rapuh.” sambil tersenyum.

“Ketenangan jiwa yang rapuh? “. Karma membatin.

Masih berdiri di depan rak “Novel Sastra”.
Membaca setiap judul buku, membolak-balikkan buku, membaca ringkasan cerita di cover belakang buku.
Sebuah alunan musik dengan beat yang slow berkumandang membuat suasana jadi tenang, tapi tiba-tiba ketenangan itu dirusak oleh suara SMS yang masuk ke Handphone-nya. Dibacanya SMS itu, SMS yang bertuliskan dengan huruf kapital dengan tanda seru di akhir kalimat:
“KAMU BODOH MASIH MENYAYANGI DIA!”

Alunan musik itu mengiringi suara perempuan, sang vokalis.

“She was lost in so many different ways
Out in darkness with no guide
I know the cost of a losing hand
Ever for the grace of God, go I
I found heaven on earth
You are my last, my first
And then, I hear this voice inside…
Ave Maria…” [Beyonce – Ave Maria]


Matanya mulai berair, bukan karena AC atau juga bukan karena debu-debu dari buku-buku yang ada di hadapannya tapi karena isi SMS itu. Air mata itu menggumpal di pelupuk mata, ditampung kemudian, -tess- tumpah dan berpindah tempat di pipi kiri dan kanan. Dia menunduk, merunduk, kemudian terduduk di depan rak “Novel Sastra”. Air mata itu semakin mengalir bebas. Mata itu mengabur, semua kalimat-kalimat sastra itu serasa menari kanan kiri, kabur, bergoyang-goyang karena bias air mata.

Lagu sudah berganti. Tetap dengan beat yang slow dan entah kenapa suara perempuan kali ini semakin mengiris-iris hatinya. Lagu apa ini??

I know
You don’t really see my worth
You think you’re the last guy on earth
Well I've got news for you
I know I'm not that strong
But it won't take long
Won't take long

Coz someday, someone's gonna love me
The way, I want you to need me
Someday, someone's gonna take your place
One day I'll forget about you
You'll see, I won't even miss you
Someday, someday


Tak ingin dilihat aneh oleh orang banyak, tak ingin terekam oleh kamera CCTV di pojok kanan atas atap, dia menyeka air mata itu dengan telapak tangan, lalu mengambil sebuah buku kecil berwarna abu-abu bergaris hitam, ungu, hijau, merah kembali hitam dengan silhouette wajah sang penyair. Buku kecil itu lahir dari tangan seorang sutradara terNAMA. Buku itu diberi nama “Aku”, Sjuman Djaya – berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar. Buku itu sekarang dia jadikan pengalihan atas air mata yang telah membuatnya seperti Itik Buruk Rupa di dongeng-dongeng anak kecil. Dibukanya lembar demi lembar. Hingga pada satu lembar halaman, yang berisikan sebuah narasi.

Lagu itu berlanjut, lirik indah yang menyiratkan kata ‘semangat’.

Lagu itu seperti menyatu pada narasi yang dibacanya.

Aku bekerja
Bukan buat ke pesta
Ini muka penuh luka [But now]
Siapa punya? [I know]
Kudengar seru menderu [you can't tell,]
Dalam hatiku [I'm down]
Apa hanya angin lalu? [and I'm not]
Lagu lain pula [down anyway]
Menggelepar tengah malam buta [But one day these tears]
Ah…!!!
Segala menebal, segala mengental [They will all run dry]
Segala tak kukenal… [I won't have to cry]
Selamat tinggal….! [Chairil Anwar] [Sweet goodbye] [Nina – Someday]

Suara mu, Pagi ku

4:22 pm Posted by write over the rainbow

malam yang sudah pagi.

suaranya menemani awal tidur ku.
katanya menina bobokanku.
deru nafasnya lelapkan tidurku.

tapi raganya tak disampingku.


[23.08.2009, 6:37 PM]